Saat berada di Tembagapura, Freeport, saya menerima kontak dari seseorang yang mengaku bernama Alvin. Ia menanyakan tentang layanan konsultasi penerbitan yang tertulis di Manistebu.com. Akhirnya, janji temu kami sepakati. Ia ingin berkonsultasi soal penerbitan bukunya.
Janji temu pertama gagal karena dampak kemacetan Jakarta yang tidak terprediksi. Lalu, kami sama-sama tidak punya waktu karena saya harus ke Jepang dan Alvin harus ke Praha.
Rupanya jodoh pertemuan kami adalah di Indonesia International Book Fair 2015, tanggal 5 September 2015. Pukul 9.00 lebih sedikit saya sudah berada di JCC. Alvin menyusul sejam kemudian. Duduklah kami di sebuah kafe. Saat menunggu dengan secangkir kopi, saya sudah menulis sebuah esai di Manistebu.com.
Alvin Witarsa, nama yang tak asing mungkin di kalangan musisi, tertutama pemain orkestra. Alvin juga berprofesi sebagai kontraktor musisi yang mengelola penampilan orkestra dalam suatu event.

Anak muda ini punya semangat dan mimpi soal buku. Di hadapan saya ia menunjukkan buku karyanya yang ditujukan untuk pembaca sasaran anak-anak pembelajar biola (mungkin juga buat remaja dan orangtua). Bukunya dominan diisi partitur lagu yang sebagian besar ia ciptakan sendiri. Satu hal yang unik, Alvin menggunakan karakter kartun untuk mengantarkan pembelajaran tentang biola. Bahkan, di bagian depan ia membuat komik yang berisikan karakter itu.
Dalam pandangan saya, buku Alvin adalah buku untuk pasar captive sekaligus niche. Namun, pasarnya jelas dan terarah. Alvin adalah orang yang menguasai teori dan praktik bermain biola. Anak muda yang dibesarkan di Surabaya ini kali pertama belajar piano untuk musik sejak usia SD kelas rendah, lalu dilanjutkan ke biola.
Pertanyaan Alvin pertama sebenarnya standar yaitu soal ISBN. Ia terbentur soal keharusan mendirikan badan hukum atau badan usaha. Saya menjelaskan tentang ISBN itu dan apa kepentingannya. Alvin juga antusias begitu saya beri tahu bahwa untuk karya dokumentasi musik juga ada yang disebut International Standard Music Number.
Di arena pameran ia mengunjungi booth Perpustakaan Nasional RI dan memperoleh informasi ISMN yang bisa diajuka secara personal. Ia sangat senang langsung mengirim pesan WA kepada saya.
Pertanyaan berlanjut soal self-publisher. Buku Alvin memang pan.tas untuk diterbitkan sendiri, dikelola sendiri, dan dijual sendiri. Kursus-kursus yang mengajarkan biola dan orang-orangtua yang memiliki anak penyuka biola adalah pasar bagi bukunya. Saya menyarankan Alvin untuk menggunakan cetak print on demand terlebih dahulu untuk tes pasar. Alvin juga harus memiliki sebuah situs untuk interaksi dan koneksi langsung dengan pembacanya, terutama anak-anak generasi internet dan gadget.
Diskusi kami juga berlanjut soal dunia musik. Soal muatan teori dan praktik serta perdebatan-perdebatan di dunia musik. Saya juga sempat menunjukkan kepada Alvin situs Uwritinc.com, kursus daring penulisan. Alvin tertarik dan menawarkan juga untuk membuatkan musik latar pada video pembelajaran Uwritinc. Duh, tawaran yang mantap dan tak boleh dilewatkan.
Lebih dari sekadar urusan konsultasi bisnis, bagi saya pertemuan dengan Alvin menyambungkan silaturahmi baru di dunia literasi. Meskipun ada, tak banyak musisi yang sadar untuk menyusun dan menulis buku, terutama terkait pembelajaran musik.
Abang saya yang juga musisi dan pengajar musik, sempat saya dorong untuk menulis buku. Hasilnya ia kini terbiasa menyusun buku sendiri untuk lembaga kursusnya, Rumah Nada, di daerah Margahayu Raya, Bandung.
***
Setelah makan siang di Bakso Lapangan Tembak, perjumpaan dengan Alvin saya tutup dengan mengajaknya mengunjungi beberapa both pameran, di antaranya booth cipika.co.id yang memperkenalkan Bookmate Indonesia dan booth Buqu. Saya mengenalkannya soal potensi e-book ke depan.
©2015 oleh Bambang Trim