Harga Sebuah Impian, Christopher Robin

Bambangtrim.com | Boleh jadi publik Indonesia lebih  mengenal Winnie-the-Pooh daripada Christopher Robin. Namun, bagi pembaca sejati kisah karya Alan Alexander Milne ini, sosok Christopher Robin tidak  dapat dipisahkan dari Winnie-the-Pooh–si beruang imut beserta teman-temannya: Piglet, Tigger, Eeyore, Rabbit, Owl, dan Kanga.

Christopher Robin sendiri adalah putra dari A.A. Milne yang mengilhaminya menulis kisah Winnie-the-Pooh. Christopher sempat mengoleksi boneka-boneka yang kemudian “dihidupkan” oleh A.A. Milne sebagai karakter dalam kisah Winnie-the-Pooh.

Mainan asli Christopher Robin (Sumber: New York Public Library/Wikipedia)
Mainan asli Christopher Robin yang mengilhami A.A. Milne (Sumber: New York Public Library/Wikipedia)

Adalah Disney yang kembali membuat film tentang Winnie-the-Pooh yang  menempatkan Christopher Robin sebagai tokoh sentral dalam format Live-Action movie. Judulnya pun Christopher Robin.

Awal kisah, penonton akan disuguhi dengan pengenalan atau pengingat karakter Christopher Robin, Winnie-the-Pooh, dkk. Christopher harus berpisah dengan teman-teman ajaibnya itu yang tinggal di The Hundred Acre Wood.

Christopher harus masuk sekolah asrama dan tinggal di sana. Sampai kemudian cerita meloncat pada kehidupan Christopher yang bekerja, menikah, menjadi tentara, lalu menjadi pegawai di sebuah perusahaan koper kulit.

Mengikuti film ini sejak awal meskipun ditingkahi karakter-karakter lucu yang hidup, sebenarnya agak berat untuk anak-anak. Kisahnya sangat bermuatan filosofis. Berbeda halnya dengan Peter Rabit yang juga menghadirkan tokoh binatang dan manusia. Peter Rabit lebih banyak aksi yang membuat anak dapat terpingkal-pingkal. Namun, sebagai tontonan keluarga, Christopher Robin cukup menghibur  dan membuat merenung.

Selama ini kita sering mendengar ungkapan  “bermimpilah sepuasmu karena bermimpi itu gratis”. Namun, Christopher  memberi antitesis bahwa “impian itu tidak gratis”—ada harga yang harus ia bayar, termasuk harus mengabaikan keluarganya.

Dari sinilah konflik dalam film bermula ketika Christopher memutuskan tidak jadi ikut berlibur ke kampung halaman mereka di Sussex. Christopher harus tetap di London bekerja siang-malam selama 7 hari dalam seminggu demi mengatasi krisis di perusahaannya.

Itulah maksud Christopher bahwa meraih impian itu tidaklah gratis; harus  dengan kerja sangat keras demi satu tujuan yaitu kebahagiaan. Ia mengungkapkan itu sebagai alasan tidak ikut berlibur bersama putrinya, Madaline.

Tiba-tiba Pooh muncul dari balik pohon dekat tempat tinggal Christopher di London. Pooh ingin Christopher mencari teman-temannya di The Hundred Acre Wood. Pooh khawatir teman-temannya ditangkap oleh Heffalump (karakter gajah yang menjadi antagonis dalam kisah Winnie-the-Pooh). Dengan sebuah alur yang bergegas, akhirnya Christopher terpaksa menuju Sussex demi mengantarkan Pooh.

Christopher tetap mementingkan pekerjaannya meskipun ia sudah sampai di Sussex, di rumah masa kecilnya. Sampai kemudian Christopher harus menjawab pertanyaan  polos Pooh: “Apakah kertas-kertas kerja di dalam tasnya lebih penting  daripada putrinya, Madaline?”

Meskipun sempat tepergok oleh Madaline dan istrinya, Christopher bergeming tetap kembali ke London untuk menghadiri rapat penting. Saat diminta presentasi, kertas-kertas kerjanya ternyata tertinggal di The Hundred Acre Wood karena ulah Tigger.

***

Akhir kisah Christopher Robin seperti dapat ditebak adalah happy ending. Ia membalikkan pola pikirnya, seperti juga ia menemukan gagasan bagaimana meningkatkan penjualan koper kulit di perusahaannya. Christopher memilih bahwa harga termahal impiannya adalah keluarga.

Filmnya sekali lagi, memang kurang menarik bagi anak-anak, tetapi dapat menyentuh bagi orangtua. Utamanya bagi bapak-bapak dan emak-emak yang sibuk dengan pekerjaannya dan rela menukar waktunya bersama keluarga dengan alasan impian.

Salam madu, Winnie-the-Pooh.[]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *