BambangTrim.com | Jejaring di dunia penulisan mempertemukan saya dengan Rani Badri Kaliandra; seorang guru yang memperkenalkan konsep Soul of Speaking. Hari Senin, 27 Agustus 2018 saya bertemu Bang Rani (begitu beliau ingin dipanggil) di Cilandak Town Square, Jakarta.
Perbincangan tidak jauh soal buku dan konsep yang hendak beliau tuliskan. Sampai kemudian akhirnya saya ditawari mengikuti training Soul of Speaking for Star pada tanggal 29-30 Agustus 2018. Saya kira ini kesempatan yang langka meskipun tanggal 30 saya sudah ada kelas menulis juga di Jakarta.
Saya putuskan untuk ikut kelas kecil keterampilan berbicara ini. Di kelas saya mengenal lima orang lainnya sebagai peserta. Ada calon anggota DPD, psikolog, dan arsitek. Jadi, ini memang bukan kelas khusus untuk pembicara publik, tetapi kelas yang menanamkan keterampilan berkomunikasi secara verbal maupun nonverbal kepada seseorang.
Jujur bahwa saya mengikuti kelas ini awalnya semata untuk dapat dengan mudah mengembangkan gagasan Soul of Speaking ke dalam buku. Namun, saya ternyata menikmatinya meskipun jam terbang saya sebagai pembicara publik sudah intens dilakukan sejak tahun 2000. Saya sendiri belum pernah mengikuti kelas public speaking-–saya menjadi pembicara publik secara autodidak atau alamiah saja.
Di kelas Bang Rani, saya benar-benar mendapatkan pencerahan pentingnya berkata-kata dari olah jiwa. Bukan hanya soal kepercayaan diri, melainkan juga soal makna. Boleh dibilang pelatihan ini juga kental dengan nilai-nilai spritual. Tidak heran jika pelatihan ini ternyata sudah diikuti oleh tokoh-tokoh penting, bahkan sudah menghasilkan lebih dari 40.000 alumni.
Selama dua hari, dari pukul 8.00 s.d. 17.00, saya mendapatkan begitu banyak makna dari penggunaan pikiran, perasaan, indra, dan naluri ketika berkata-kata. Saya pikir ilmu ini juga selaras dapat diterapkan dalam menulis.
Perbedaannya jika berbicara sangat dipengaruhi oleh intonasi, nada, dan tempo, menulis akan sangat dipengaruhi oleh diksi (pilihan kata) dan tanda baca. Di dalam tulisan juga terkandung nada dan nilai rasa.
Maka dari itu, konsep menulis sepenuh jiwa sebenarnya juga berdasarkan dari olah pikir dan rasa yang direspons dari panca indra serta naluri (intuisi). Jika ingin tulisan terbimbing, koneksi kepada Sang Maha Pencipta menjadi penting. Jika tidak ada koneksi kepada Yang Menciptakan kita, koneksi itu akan disabotase unsur lain—boleh jadi itu adalah setan yang selalu berusaha menyesatkan kita.
Dalam Soul of Speaking, masa lalu kerap disinggung demi menunjukkan jati diri kita hari ini. Karena itu, ada pertanyaan yang menggugat kepada diri ini: Apakah Anda sudah mengenal diri Anda? Sebelum sampai pada pertanyaan hakiki: Apakah Anda mengenal Tuhan Anda?
Masa lalu yang buruk, menyisakan memori pada alam bawah sadar. Memori yang terus menghantui ketika seseorang merendahkan dirinya sendiri, merendahkan orang lain, menyalahkan dirinya sendiri, dan mudah menyalahkan orang lain. Faktor-faktor pembuat memori itu boleh siapa saja: orangtua, saudara, atau teman.
Karena itu, tahap awal yang dilakukan adalah menyatakan cinta kepada diri sendiri, meminta maaf, menyesali apa yang terjadi, dan berterima kasih. Konsep itu merupakan modifikasi dari metode yang dikenal nama Ho’oponopono. Metode pengampunan ala masyarakat Hawaii kuno ini termuat dalam buku Zero Limits karya Dr Ihaleakala Hew Len.
Ringkasnya Metode Ho’oponopono ini proses pelepasan energi negatif dalam diri seseorang demi mengizinkan munculnya dampak gagasan, kata, perbuatan, dan tindakan dari Ilahi. Menurut masyarakat Hawaii kuno, kekeliruan timbul dari pikiran-pikiran yang dicemari kenangan yang menyakitkan dari masa lalu. Ho’oponopono menawarkan sebuah cara untuk melepaskan energi pikiran yang menyakitkan atau kekeliruan ini, yang mengakibatkan ketidakseimbangan dan penyakit.
Jadi, sebelum berkata-kata maka lepaskanlah dulu kenangan, pikiran, dan perasaan yang buruk atau menjadi racun di dalam kehidupan kita. Hal itu sama saja dengan menulis karena pada dasarnya menulis juga mengeluarkan kata-kata dari pikiran dan perasaan. Apabila pikiran dan perasaan kita terus terganggu dengan kenangan buruk masa silam, selamanya yang kita keluarkan juga akan mengundang ketidakseimbangan serta penyakit.
Sebagai seorang Muslim, saya ingat tentang pembersihan jiwa semacam ini yang disebut tazkiyatun nafs. Proses pembersihan jiwa dilakukan melalui berbagai ritual ibadah, amalan kebajikan, dan upaya mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dalam bahasa modern saat ini, tazkiyatun nafs adalah upaya penjernihan sinyal (gelombang) keterhubungan kita dengan Sang Maha Pencipta sehingga hidup kita terbimbing.
Energi apa yang meniscayakan keterhubungan itu menjadi jernih dan kukuh? Itulah energi cinta seperti yang menjadi spirit dari Soul of Speaking. Ia bukan sekadar berbicara, melainkan lebih dari itu adalah menggunakan energi cinta sehingga mereka yang berbicara akan menggunakan kata-kata yang benar-benar menggerakkan, memengaruhi, dan membawa perubahan baik.

Kalau dibahas lebih mendalam, tulisan ini akan panjang sekali. Intinya saya ingin mengungkapkan kata-kata ‘sepenuh jiwa’ bukanlah sekadar ungkapan, melainkan sebuah ikhtiar untuk memunculkan potensi insani sebagai khalifah di muka bumi ini.[]