Tiga Generasi Menulis Buku

Pagi Senin kemarin (11/1), saya sudah ada janji bertemu dengan seorang ibu yang pernah mengikuti pelatihan penulisan di LIPI Press. Rumah orangtuanya ternyata hanya berdurasi lima menit ke rumah saya di Cimahi.

Rupanya yang datang tidak hanya sang ibu, tetapi juga dengan anaknya dan kakek si anak. Artinya, yang datang tiga generasi sekaligus: anak-ibu-kakek. Pertemuan dibuka dulu dengan kiprah sang anak.

Baru lulus dari jurusan HI sebuah universitas swasta terkenal di Bandung, tetapi merasa renjana (passion)-nya ada di dunia menulis. Ia telah menghasilkan satu berkas naskah novel. Padahal, saat itu ia sudah mendapat tawaran menjadi dosen.

Anak zaman sekarang memang kadang punya pendirian yang kukuh. Menurutnya apa yang ia pilih untuk dikerjakan itu harus total. Jika ia memilih menjadi dosen, ia harus total mengajar. Jika ia memilih menjadi penulis atau novelis, ia pun harus total.

Saya harus kagum dengan kekukuhan pendiriannya soal fokus itu. Kalau kebanyakan dari kita kan aji mumpung dulu, menulis dan mengajar sesuatu yang sangat berhubungan. Tidak ada salahnya mencoba dulu mengajar sambil menulis. Namun, anak muda tadi tampaknya tidak bisa digoyahkan dengan pemikirannya.

Sang kakek, ayah dari si ibu yang bekerja di sebuah kementerian itu sebagai peneliti, adalah penggiat DKM di kompleks perumahannya. Ia telah mengumpulkan pemikiran-pemikiran religiositasnya dari percikan renungan tentang hakikat Islam. Ia kali pertama menunjukkan saya tentang konsep pohon rindang Islam yang terdiri atas akidah, akhlak, dan syariat.

Rupanya sang kakek juga berniat membukukan apa yang menjadi pemikirannya tersebut. Maksudnya mulia bahwa buku tersebut bisa dijadikan panduan untuk berdakwah. Panduan yang dibuat memang untuk Muslim yang ingin mencari pengetahuan menengah ke atas, bukan untuk yang baru mengenal Islam.

Saya menyimak penjelasan sang kakek dengan saksama. Ada beberapa halaman kertas yang sudah ditik dalam bentuk matriks-matriks yang saling berhubungan.

Giliran sang ibu, ia belum siap dengan konsep naskahnya. Kedatangannya lebih untuk mengantarkan putranya dan ayahnya bersua saya. Harapannya adalah benar-benar mewujudkan ide-ide dari sang putra dan ayahnya menjadi buku. Saya mengamini untuk membantu.

Tentulah sangat langka jika ada tiga generasi disatukan oleh minat yang sama yaitu menulis buku. Saya tengarai bahwa keluarga si ibu memang sudah akrab dengan kegiatan membaca sebagai pelecut keingnan untuk menulis. Membacanya juga sudah tingkat lanjut yaitu tidak lagi membaca kata-kata, tetapi sudah membaca dunia. Seperti halnya konsep literasi yang menghunjam “read the word and the world“.

Mereka keluarga yang cendekia. Sang ibu adalah seorang pakar bidang tambang yang bekerja di Kementerian ESDM. Ia begitu antusias saat saya tunjukkan bagaimana merancang sebuah rencana penulisan buku.

Sepulangnya tiga generasi calon penulis buku itu, saya beri oleh-oleh buku karya saya. Paling tidak itu menjadi bentuk apresiasi saya terhadap minat dan hasrat mereka untuk membukukan pengetahuan serta pengalamannya ke dalam buku.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *