
Menyambut tahun 2016, kata “harapan” atau yang semakna dengan itu pastilah tersuratkan atau tersiratkan dalam setiap orang. Harapan untuk hidup lebih baik tentunya pada tahun baru. Namun, jika ada kata “sinar harapan” mengawali 2016 ini, ingatan pun langsung tertuju pada “raja koran sore” yang terbit di Ibu Kota, lalu kini menyatakan tutup.
Pemimpin redaksi Sinar Harapan, Eric Somba, mengatakan bahwa Sinar Harapan cetak maupun daring berhenti terbit per 1 Januari 2016 ini. Koran tua yang terbit perdana 27 April 1961 itu pada setiap sore hari, akhirnya masuk jajaran koran yang tidak lagi mampu bertahan melawan gempuran zaman.
Bagi saya pribadi ada pengalaman yang selalu diingat. Saya dan teman-teman dari Prodi D3 Editing Unpad pernah bertandang ke dapur Sinar Harapan awal (saat itu telah menjadi Suara Pembaruan), tepatnya dapur penerbit yang dibawahkannya yaitu Pusaka Sinar Harapan. Seingat saya waktu itu kunjungan kami dalam kaitan kerja sama bazar buku.
Ada satu buku terbitan Pustaka Sinar Harapan yang menjadi acuan saya saat kuliah hingga kini. Buku yang sangat langka tentang penerbitan buku. Judulnya Pedoman Dasar Penerbitan Buku karya Hassan Pambudi. Buku itu terbitan 1981 dan saya mengoleksi cetakan keempat tahun 1996 yang kala itu berharga Rp11.000,00.
Ingatan kedua, saya tahu salah seorang sosok yang tidak dapat dilepaskan dari Sinar Harapan yaitu Aristides Kattopo. Tokoh ini juga saya ketahui sebagai salah seorang “aktor” di balik kelahiran tablodi Mutiara. Tabloid Mutiara sering saya beli karena banyak mengandung feature yang asyik dibaca. Tulisan dosen saya, Wilson Nadeak, juga sering dimuat di sana. Pak Wilson saya ketahui memang dekat dengan Pak Tides.
Tides, begitu Aristides Kattopo biasa disapa, adalah sosok pejuang pers Indonesia. Penyuka olahraga renang, catur, dan mendaki gunung ini memang dikenal sebagai “manusia outdoor“. Ia hampir tidak pernah mengenakan dasi dan kala itu rambutnya agak gondrong. Begitu seperti ditulis dalam buku Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985-1986, yang disusun majalah Tempo.
Entah perasaan apa yang tergambarkan pada Tides ketika harus merelakan nasib Sinar Harapan kini. Ia ketika memimpin koran itu pernah mengalami pembreidelan zaman Orba tahun 1986. Sinar Harapan kemudian berubah wujud menjadi Suara Pembaruan. Ketika fajar Reformasi merekah, Tides adalah orang yang mendesak Sinar Harapan dihidupkan kembali. Meski ditolak oleh pemimpin Suara Pembaruan, Tides memilih keluar dan benar-benar melahirkan kembali Sinar Harapan.
Ini ungkapan perasaan Tides yang saya kutip dari CNN Indonesia:
“Saya termasuk yang menyayangkan dan sedih karena tidak lagi terbit sebagai koran sore yang dicetak,” kata Tides.
Bagi Tides, Sinar Harapan adalah tempat dia berkarya dan belajar. Tapi dia juga mengakui bahwa perkembangan industri media dan perubahan kebutuhan informasi publik tidak bisa dicegah. Apalagi, era digital perlahan tapi pasti telah menggantikan ketergantungan masyarakat dari surat kabar menjadi media dalam jaringan (daring) yang perkembangannya kian pesat.
“Media sekarang dikuasai oleh internet dan digital. Yang penting juga pembaca. Saya kira, cucu-cucu saya sudah tidak terbiasa membaca koran, mereka membaca di smartphone,” ujarnya.

Sejarah akhirnya mencatat pada akhir Juni 2001, Sinar Harapan format baru terbit dalam edisi contoh. Tanggal 2 Juli 2001, secara resmi Sinar Harapan terbit kembali. Koran ini muncul seperti bangkit dari kubur yaitu menggunakan jenis huruf dan logo yang pernah dipakainya dulu. Dan sejarah kembali mencatat, SP harus dihentikan baik cetak maupun daring (online)-nya per 1 Januari 2016.
Sedih tentu jika mendengar ada kiprah yang memang harus berhenti atau terhenti, lalu menjadi sejarah yang hanya bisa dikenang. Sedih juga rontoknya media profesional justru di tengah lahirnya media-media tidak profesional yang kini menyebar informasi sampah di internet. Namun, kita harus tetap optimistis bahwa sejarah baru bisa saja diciptakan kembali pada masa depan oleh SH sendiri ataupun orang-orang yang telah ikut berkiprah membesarkannya kini.
Ada satu paragraf saya kutip dari sinarharapan.co yang masih bisa diakses. Tulisan Herry Prasetyo tanggal 31 Desember 2015, pukul 22.00.
Tidak ada yang bisa mengganggu kesempurnaan kita dalam berkarya, menciptakan hal yang baru, kecuali kita hanya diam saja. Tidak ada yang bisa menghentikan impian kita, kecuali kita sendiri yang tidak berani bermimpi. Hidup, tahun ini ataupun tahun yang baru, tetaplah menjadi hidup, karena kita adalah pribadi yang mau berkarya, memaknai setiap napas yang dikaruniakan kepada kita, dengan kerja, kerja, dan kerja, tapi tetap membuatnya berada dalam bingkai kerendahan hati. Sempurna! Selamat tahun baru!