“Sastra Serius” Dipelihara oleh Negara

Membincangkan literasi dan buku dengan para penggiat penerbitan di Malaysia bolehlah membuat sedikit iri soal perhatian negaranya yang begitu besar. Bukan hendak membanding-bandingkan, melainkan faktanya memang demikian hingga dua orang tamu berkunjung ke Ikapi Pusat, 29 Juni 2012 kemarin. Adalah Encik Mohd. Khair Ngadiron (beliau keturunan Jawa) yang kini memimpin Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (ITBM) berkunjung bersama Encik Sakri Abdullah sebagai ketua jabatan terjemahan dan penerbitan.

ITBM bukanlah lembaga pendidikan. Seperti makna yang tersurat di dalam KBBI, institut juga adalah badan atau lembaga yang didirikan untuk melakukan suatu penyelidikan ilmiah. ITBM yang awal ditubuhkan (didirikan) bernama Institut Terjemahan Nasional Malaysia 18 tahun lalu, kemudian berubah pada 16 Desember 2011 menjadi Institut Terjemahan dan Buku Malaysia. Perubahan ini didasari oleh perluasan peran dari awalnya sebagai lead agency penerjemahan karya-karya terpilih, kemudian ditingkatkan juga menjadi penerbitan buku-buku hasil terjemahan karya-karya terpilih. ITBM pun menjadi semacam badan usaha milik negara dengan key performance indicator tersendiri yaitu harus menghasilkan profit dari usaha-usahanya. Walaupun demikian, pihak Kerajaan Malaysia menggelontorkan RM5 juta (lebih kurang Rp145.000.000.000) yang disalurkan secara bertahap selama dua tahun untuk membantu penerbitan buku, terutama karya penulis muda dalam semua genre. Jumlah yang tidak sedikit untuk sebuah dukungan terhadap literasi serta penerbitan.

Apa maknanya? Malaysia sudah bergerak untuk sadar literasi jauh-jauh hari. Salah satu upaya adalah penerjemahan karya-karya bermutu dari penulis asing. Sebaliknya, Malaysia juga dengan kepercayaan diri mulai mengusahakan promosi karya para sastrawan yang diterbitkan dalam berbagai bahasa. Pola kerja sama yang dibangun adalah co-publishing dengan penerbit asing sehingga muncullah karya para penulis Malaysia dalam bahasa Prancis, Spanyol, Rusia, Korea, dan Inggris tentunya. Tetap iri, ya tentu saja. Malaysia sudah mampu mengenalkan pantun lewat penerbitan buku sehingga dialihbahasakan ke dalam bahasa Prancis. Dato’ Sri Mohd. Najib, Perdana Menteri Malaysia kini, rupa-rupanya sadar betul soal kepentingan literasi dan peran para sastrawan memajukan negaranya. Karena itu, sastrawan yang dianggap menghasilkan karya-karya “sastra serius” dalam versi mereka seolah-olah dipelihara oleh negara dan diberi ruang untuk berkarya. Ruang gerak itu dimaknakan dengan pendirian ITBM. Bahkan, ITBM kemudian juga menjadi satu mata rantai penggerak community development untuk membina para penulis, penerjemah, juga penyunting. ITBM menjadi strategic partner bagi Persatuan Nasional Penulis Malaysia (PENA) yang sudah berdiri 50 tahun lamanya.

ITBM juga menyelenggarakan workshop-workshop untuk mengasah keterampilan menerjemahkan dan menyunting naskah terjemahan. Alhasil, kegiatan ini juga secara tidak langsung mendorong kualitas penerjemahan buku-buku yang mereka terbitkan dalam berbagai genre. Namun, khidmat utama mereka tetaplah mengangkat para sastrawan muda Malaysia menjadi sastrawan berkelas dunia. Seperti kita di sini juga memimpikan munculnya kembali sastrawan sekelas HB Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Pramoedya, Chairil Anwar, Kuntowidjoyo, Umar Kayam, Romo Mangun, Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, dan banyak lagi—yang lahir dari kalangan generasi muda dengan semangat literasi tinggi.

Duh, apakah negara kita tak serius mengurusi literasi dan buku di negeri ini? Tak kurang ada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan program-programnya—seperti penilaian buku-buku bacaan setiap tahun. Tak kurang ada Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang seharusnya juga mengambil perhatian soal penerbitan buku. Tak kurang ada beberapa writer festival event kini seperti di Ubud dan Makassar yang mampu menggelorakan semangat sastrawan muda. Namun, tetap saja tidak ada yang namanya lembaga seperti ITBM dengan misi begitu terarah dan jelas sebagai industri literasi.

ITBM telah memesan booth untuk ikut dalam ajang Indonesia Book Fair (IBF) 2012 November mendatang. Mereka pun hendak membawa beberapa penulis (sastrawan) muda menggelar acara di IBF 2012. Satu misi yang akan disorongkan Encik Khair adalah membawa para penulis muda Malaysia melanglang buana ke beberapa event, terutama book fair, seperti Frankfurt Book Fair dan Bologna Book Fair. Misi yang sekali lagi membuat iri karena para penulisnya pun didukung untuk melek internasional dan merasakan kejayaan di dunia buku.

Iri saja tidak cukup. Maaf, “sastra serius” tidak dipelihara oleh negara, apalagi “sastra tidak serius” alias populer—atau malah yang populer mendapat perhatian lebih. Maaf, ini bukan soal dikotomi ada “sastra serius” dan “sastra populer”, ini soal ke mana mau dibawa kejayaan literasi kita meski ada banyak jurusan Sastra Indonesia di berbagai perguruan tinggi ilmu humaniora di Bumi Pertiwi ini dan banyak pula pakarnya. Sampai-sampai generasi kini tak mampu membedakan mana pantun mana karmina. Sampai-sampai generasi kini menakuti pelajaran bahasa Indonesia pada setiap ujian nasional digelar. Sampai-sampai banyak pula yang mencoba berliterasi secara instan, berkarya tanpa pandu dan arah, serta berjaya tanpa dukungan setelahnya. Sialan, tetap saja kita mencintai Indonesia yang kaya raya ini berbalut masalah setiap hari! []

 

Ba(ha)sa Basi Bambang Trim

©2012 oleh Bambang Trim

 

4 thoughts on ““Sastra Serius” Dipelihara oleh Negara”

      1. bagus bila sekolah swasta mewajibkan bacaan “sastra serius” dalam kurikulum bahasa di sekolah. pertama, “Sastra serius” ada yang membaca. kedua, produksi versi cetaknya bisa ditingkatkan (kecuali, tiap siswa punya komputer tablet untuk membaca, maka versi digital akan lebih baik).

  1. Pingback: Ironi Balai Pustaka 2: SaveBalaiPustaka | MANISTEBU

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *