Menyelisik Relung-Relung Ilmu Penyuntingan

Bambangtrim.com | Nomenklatur copy editing atau penyuntingan naska sebagai ilmu mungkin tidak terlalu dikenal di dalam dunia pendidikan di Indonesia. Hanya pernah sekali digunakan sebagai nama Program Studi D-3, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, di Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran. Prodi tersebut sudah tiada dan saya salah satu alumnusnya.

Prodi sejenis menggunakan nomenklatur lebih umum yaitu ‘penerbitan’ seperti yang ada di Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia). Sebelumnya Jurusan Penerbitan juga ada di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ), namun kini lebih mengarah pada ilmu jurnalistik.

Jika merujuk pada perkembangan ilmu ini di luar negeri, khususnya negara Barat, terdapat nomenkaltur ‘professional writing and editing‘ serta ‘publishing studies‘. Pada pendidikan vokasi, nomenklatur ‘professional writing and editing‘ sering dijadikan nama program studi, sedangkan ‘publishing studies‘ digunakan untuk pendidikan jenjang S-1 hingga S-3.

Posisi Penyuntingan sebagai Ilmu

Tidaklah diragukan jika ‘penyuntingan’ ditempatkan sebagai sebuah ilmu plus keterampilan mengingat banyaknya relung ilmu ini. Seseorang yang belajar penyuntingan naskah secara autodidak tanpa mengambil pendidikan formal atau nonformal di bidang penyuntingan tentu tidak akan banyak tahu “lekuk-lekuk” ilmu ini yang begitu banyak.

Hal inilah yang terjadi pada sebagian besar editor atau penyunting di Indonesia. Mereka lahir sebagai autodidak dan umumnya hanya berbekal penguasaan terhadap suatu bidang ilmu, tetapi tidak untuk ilmu penyuntingan atau ilmu penerbitan.

Contohnya, editor buku matematika biasanya berlatar belakang pendidikan matematika, baik S-1 maupun S-2, tetapi belum tentu menguasai ilmu penyuntingan. Alhasil, mereka lebih berfokus pada konten matematika pada suatu naskah. Adapun untuk masalah kebahasaan dan penyajian naskah sering kurang diperhatikan.

Kelemahan-kelemahan ini terkadang tidak dapat ditutupi meskipun kemudian penerbit mempekerjakan proof reader (korektor). Baca pruf (proof reading) tidaklah sama dengan penyuntingan naskah.

Kompleksitas Ilmu Penyuntingan

Ilmu penyuntingan naskah dan ilmu penerbitan sendiri memang terkait dengan ilmu-ilmu lainnya. Sepengalaman mendalami ilmu tersebut di Prodi D-3 Editing Unpad dan S-1 Sastra Indonesia Unpad, ada beberapa bidang ilmu yang terkait dengan penyuntingan, yaitu

  1. ilmu kebahasaan;
  2. ilmu sastra;
  3. ilmu perpustakaan;
  4. ilmu grafika (pencetakan);
  5. ilmu penerbitan destop (desktop publishing);
  6. ilmu desain komunikasi visual; dan
  7. ilmu komunikasi.

Keterkaitan antar-ilmu ini sangat berhubungan dengan aspek-aspek penyuntingan pada sebuah naskah. Ada tujuh aspek yang populer disebutkan sebagai aspek yang diedit, yaitu

  1. keterbacaan dan kejelahan (readability dan legibility) berhubungan dengan ilmu DKV, tipografi, dan grafika;
  2. ketaatasasan/konsistensi berhubungan dengan tata tulis dan pedoman gaya selingkung;
  3. kebahasaan berhubungan dengan ejaan dan tata bahasa;
  4. kejelasan gaya bahasa (ketedasan) berhubungan dengan gaya penulisan (stilistika);
  5. ketelitian data dan fakta berhubungan dengan validitas data dan fakta;
  6. kepatuhan legalitas dan kepatutan berhubungan dengan hak cipta, etika, dan keamanan;
  7. ketepatan rincian produksi berhubungan dengan efisiensi penerbitan, kemudahan penggunaan, dan grafika.

Jadi, memang sangat kompleks sehingga seorang editor dituntut memiliki kompetensi multidisiplin ilmu. Hal ini menarik sekaligus menantang bagi orang-orang yang memiliki renjana menekuni dunia tulis-menulis sekaligus media penerbitan.

Klasifikasi Penyuntingan

Ada klasifikasi penyuntingan yang selalu dijelaskan di dalam buku-buku tentang penyuntingan naskah. Klasifikasi ini sangat berhubungan dengan pembagian tugas editor di sebuah organisasi penerbit yang besar dan kompleks.

Berikut klasifikasi penyuntingan yang kerap disebutkan:

  1. penyuntingan mekanis (mechanical editing);
  2. penyuntingan pengembangan (developmental editing);
  3. penyuntingan struktural (structural editing); dan
  4. penyuntingan gambar (pictorial editing).

Keseluruhan ilmu penyuntingan sering juga disebut copy editing yang terbagi atas penyuntingan ringan (light), penyuntingan sedang (medium), dan penyuntingan berat (heavy). Ada juga yang mengategorikan penyuntingan nomor 2 dan 3 sebagai substantive editing.

Dengan begitu banyaknya relung penyuntingan ini mewujudlah pemeringkatan profesi editor dengan kategori editor muda (junior), editor madya, dan editor utama (senior). Di dalam organisasi penerbit besar terdapat penyebutan editorial assistant, copy editor, acquisition editor, right editor, managing editor, chief editor, dan sebagainya. Penyebutan itu ada yang berdasarkan pada level jabatan dan ada yang berdasarkan pada fungsi.

Kompetensi menyunting bagi seorang editor meliputi 1) keterampilan menimbang atau menilai naskah; 2) keterampilan memperbaiki naskah; 3) keterampilan mengembangkan dan mengemas naskah sesuai dengan peruntukannya; dan 5) keterampilan mengelola proses editorial.

Memasyarakatkan Ilmu Penyuntingan

Ilmu dan keterampilan penyuntingan jarang diajarkan di Indonesia, baik pada pendidikan formal maupun nonformal. Pelatihan penyuntingan juga masih sangat terbatas seperti yang dilaksanakan oleh Institut Penulis Indonesia sejak 2017 hingga saat ini.

Beruntunglah kemudian Perkumpulan Penulis Profesional Indonesia (Penpro) berhasil mewujudkan Standar Kompetensi Kerja Khusus (SKKK) Jabatan Kerja Editor pada 2018. Inilah untuk kali pertama editor mulai disertifikasi.

Merujuk pada SKKK Editor yang digagas Penpro, ada tiga skema uji kompetensi yang telah diajukan oleh LSP Penulis dan Editor Profesional (yang didirikan Penpro), yaitu

  1. Skema Klaster Penyuntingan Akuisisi;
  2. Skema Klaster Penyuntingan Naskah; dan
  3. Skema Klaster Penyuntingan Substantif.

Ketiga skema tersebut telah diverifikasi oleh BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi). Sertifikasi untuk profesi editor akan mulai diintensifkan pada 2019. Hal ini sebagai upaya memasyarakatkan profesi editor.

Untuk kepentingan pelatihan editor berbasis kompetensi, Institut Penulis Indonesia akan mengambil peran dengan menyusun silabus pelatihan kompetensi untuk tiga klaster editor, yaitu Editor Akuisisi (Pemerolehan Naskah), Editor Naskah, dan Editor Substantif. Pelatihan editor ini mulai digalakkan pada tahun 2019.

Kabar melegakan juga datang dari Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi). Ikapi dengan dukungan asosiasi profesi lainnya telah mewujudkan SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) Bidang Penerbitan Buku atas dukungan Kemenkominfo pada 2018. Inilah SKKNI pertama di bidang penerbitan buku di Indonesia.

Dalam proses prakonvensi dan konvensi, saya ditunjuk sebagai ketua tim perumus. SKKNI tersebut memuat juga kompetensi editing bagi seseorang yang hendak disertifikasi dalam bidang penerbitan buku. Mengapa? Karena kompetensi editing atau editorial adalah kompetensi inti yang menjiwai seluruh aktivitas penerbitan.

***

Artikel ringkas ini hanya mengungkap secara umum saja relung-relung ilmu penyuntingan. Jika dibahas secara detail, akan mewujudkan menjadi satu buku. Saya pernah menuliskan secara lengkap di dalam buku 200+ Solusi Editing Naskah untuk Penerbitan yang diterbitkan oleh Penerbit Bumi Aksara. Buku setebal lebih dari 300 halaman itu pun belum tuntas menjelaskan seluk-beluk dunia penyuntingan

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *