Bambangtrim.com | Apakah menulis itu sebuah keterampilan yang patut dihargai layaknya sebuah profesi mentereng lainnya? Atau pertanyaan lebih lugas apakah penulis itu profesi? Jika bukan profesi, mengapa penulis itu dicari-cari dan eksis dari zaman dahulu hingga sekarang?
Pada kenyataan tidak semua orang mampu menjadi penulis profesional meskipun yang mengaku-ngaku sebagai penulis profesional banyak sekali. Penulis profesional ada yang mengambil jalur generalis dan ada yang mengambil jalur spesialis.
Dalam hal spesialis pembedanya juga bermacam-macam. Ada spesialis ranah turunan dari ranah induk (fiksi-nonfiksi-faksi). Contohnya, penulisan jurnalistik, penulisan akademis, penulisan kreatif, dan penulisan bisnis. Ada pula spesialis berdasarkan bidang, seperti penulisan medis, penulisan teknik, dan penulisan sejarah.
Penulis berbeda dengan pengarang (author). Karena itu, penulis kemudian berkembang sebagai profesi jasa yang dapat dilakukan secara perseorangan atau kelompok. Tentu saja penulis jasa tidak bekerja layaknya penulis/pengarang secara umum yang menghasilkan karya mandiri dalam bentuk buku sehingga mereka dikenal khalayak. Penulis jasa bekerja untuk semua bidang yang memerlukan pekerjaan penulisan dan mereka cenderung makhluk ‘soliter’.
Di negara-negara maju, telah ada yang namanya sertifikasi penulis, baik itu dalam ranah tertentu atau bidang ilmu tertentu. Penulis bersertifikat dipercaya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan khusus penulisan dengan standar bayaran per jam, per halaman, atau per proyek penulisan.
Sayangnya, sekali lagi sayang, sampai kini di Indonesia tidak ada asosiasi profesi penulis sehingga standardisasi pun tidak ada. Sebelumnya memang pernah ada sebagai gagasan para sastrawan.
Dalam buku Leksikon Susastra Indonesia yang disusun Korrie Layun Rampan disebutkan pernah ada Himpunan Pengarang Indonesia Aksara (HPI Aksara) berdiri tahun 1981 yang dipelopori para pengarang perempuan, seperti Titie Said, Titiek W.S., Maria A. Sardjono, Sari Narulita, dan La Rose. Pembentukan organisasi ini juga didukung oleh Gerson Poyk, Arswendo Atmowiloto, Korrie Layun Rampan, Hamsad Rangkuti, Rahmat Ali, Matheus Elanda Yosi Ds., Leon Agusta, dan lain-lain. Tercatat ketua terakhirnya tahun 1996 adalah Titiek W.S.
Dalam makalahnya pada Kongres Perbukuan Nasional I (29–31 Mei 1995), Titie Said mencatatkan beberapa organisasi penulis/pengarang Indonesia yang pernah ada, yaitu
- Himpunan Pengarang Indonesia Aksara;
- Ikatan Pengarang Indonesia (IPINDO);
- Persatuan Penulis Indonesia (Peperindo);
- Wanita Penulis Indonesia (WPI);
- Forum Sastra Wanita “Tamening” di Sumatra Barat (baru berdiri kala itu).
Selain organisasi tersebut, beberapa himpunan penulis juga bertumbuh di daerah, seperti Yogya, Bandung, Bengkulu, dan daerah lainnya. Jadi, yang terbentuk sebenarnya bukanlan asosiasi profesi, melainkan hanya komunitas-komunitas penulis. Komunitas terbesar yang kini masih berdiri adalah Forum Lingkar Pena (FLP).
Jika dalam draf RUU Sisbuk, profesi Penulis disebutkan dan diuraikan secara khusus dalam bab tertentu, berarti Pemerintah juga tengah memberi peluang ‘penulis’ muncul sebagai sebuah profesi yang mapan. Artinya, asosiasinya pun harus jelas dan memiliki Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) layaknya seperti profesi lain sehingga penulis pun bersertifikat. Dalam bayangan saya ada sertifikasi untuk penulis muda, penulis madya, dan penulis mahir (senior) dalam berbagai ranah.
Namun, SKKNI penulis ini tidak ada, kecuali nomenklatur untuk ilmu dan keterampilan jurnalistik atau kehumasan yang di dalamnya juga terkandung keterampilan menulis. Di luar negeri, penulisan, penyuntingan, dan penerbitan telah menjadi nomenklatur untuk pendidikan vokasional–berbeda dengan jurnalistik dan humas. Lebih jauh untuk pendidikan S1 hingga S3 terdapat nomenklatur ilmu penerbitan (publishing study).
Karena tiadanya SKKNI, termasuk perumusan kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD), wajar jika penulis “belum diakui” sebagai profesi. Padahal, pekerjaan dan keterampilannya diperlukan. Dalam standar biaya umum (SBU) Pemerintah hanya ada satu pekerjaan menulis yang dihargai yaitu penulisan konten situs web seharga Rp100.000,00 per halaman. Saya pernah diminta oleh Direktorat Sejarah Kemendikbud untuk memberikan saran harga per halaman penulisan buku, sejatinya karena mereka bingung tentang standar harga penulisan seperti ini.
Menggagas Pendidikan Vokasional
Lewat Institut Penulis Indonesia saya mencoba menggagas dan merintis pendidikan vokasional di bidang penulisan sekaligus sertifikasi untuk para penulis dan editor.
Menurut saya ini sudah mendesak karena saya iri juga melihat bidang lain sudah memiliki SKKNI seperti yang tercantum pada www.infokursus.net. Contohnya, akupunktur, jasa usaha makanan, MC, dan profesi musik punya SKKNI, sedangkan penulis yang juga dapat dipetakan kompentensinya malah tidak.
Saya kira ini satu misi dalam hidup saya yang harus dituntaskan yaitu adanya standar kompetensi profesi penulis dan nantinya juga editor serta adanya pendidikan vokasional yang menyiapkan tenaga-tenaga penulis dengan ilmu dan keterampilan yang standar di Indonesia. Mengapa? Soal keandalan literasi tidak dapat dilepaskan dari mutu para penulis di Negeri ini.[]
Angka Rp100.000,00 per halaman cukup fantastis bagi saya, mengingat selama ini penulis konten dihitung per jumlah kata dan beberapa hanya mendapat Rp 10.000,00/500 kata. Kalau dulu pernah dengar ghost writer yang mencapai angka 100.000 per halaman. 🙂
Ya, rata-rata ghost writer saat ini sudah di atas Rp100.000,00 per halaman, bahkan sampai Rp500.000,00.