Tak pelak lagi CEO memang jabatan yang mentereng, apalagi jika sang CEO itu bertengger di puncak kepemimpinan sebuah perusahaan besar. Namun, CEO sejati seyogianya mengalami fase demi fase kewirausahaan yang tidak dapat dikatakan mudah. Tengoklah dr. Boenjamin Setiawan—sang pendiri Kalbe Farma—yang harus mengalami bangkrut 2 kali dan sempat frustrasi ingin melarikan kegagalannya ke Belanda. Namun, akhirnya ia termotivasi lagi oleh sang kakak hingga memulai lagi usaha farmasi dari sebuah garasi milik teman kakaknya di daerah Tanjung Priok.
Saya hanya melihat, mendengar, dan membaca fase-fase ini karena sebagai writerpreneur (pengusaha bidang penulisan) saya bisa menikmatinya tatkala menuliskan kisah-kisah para CEO Indonesia ini. Ada buku yang telah terbit memuat kiprah sembilan CEO Indonesia yaitu 9 Jalan Pengusaha karya Adi Putera Widjaja diterbitkan Gramedia. Saya membantu proses-proses awal penulisan buku ini sebagai editor.
Buku terbaru yang sedang saya kemas penulisannya adalah tentang eksekusi strategi dan peran yang dimainkan para CEO Indonesia, seperti Hasnul Suhaimi (XL Axiata), Stanley Atmadja (Adira), Martha Tilaar (Martina Berto), Jahja Setiatmadja (BCA), dan dr. Boenjamin Setiawan (Kalbe Farma). Di sini saya tidak hanya menuliskan, tetapi juga bisa mencerap begitu banyak kisah-kisah heroik bagaimana mereka membangun dan mengembangkan kerajaan bisnisnya.
Di antara mereka ada yang berangkat sebagai profesional murni dan sebagian lagi benar-benar sebagai pendiri. Sebagai profesional, tentunya titian karier mereka menggambarkan semangat intrapreneurship yang tinggi dan juga terlihat idealisme serta pilihan hidup. Misalnya, kisah seorang Arwin Rasyid yang pernah menjadi orang nomor satu di Telkom, lalu mengundurkan diri dan kini memegang kendali CIMB Niaga.
Ibarat sebuah balada, kisah para CEO ini tentunya tidaklah semua kisah gembira dan sukses. Ada masa-masa sulit yang harus dilewati sehingga perjalanan sebuah karier atau usaha dapat dimaknai sebagai sebuah proses. Jika membaca kisah-kisah sejati mereka, tidaklah usaha atau bisnis itu bisa membesar dengan cara-cara instan. Pun tidak pula sebuah karier itu dapat dititi dengan cara-cara mengabaikan proses.
CEO sejati selalu punya formula dalam memetakan sukses, selain impian tentunya yang tersimpan di dalam benak mereka. Saya sendiri mengalami fase-fase sebagai profesional, lalu menjelang usia kepala empat, saya beranikan menjadi wirausahawan. Tidak gampang memang dan berdarah-darah untuk mempertahankan bisnis, terutama kekokohan finansial meskipun saya memasuki bisnis yang juga tidak gampang dimasuki orang lain.
Setelah evaluasi maka strategi pun harus diubah, terutama mengendalikan biaya-biaya. Di sinilah saya mafhum apa yang dilalui para CEO itu. Karena itu, yang tadinya saya menghabiskan biaya sewa kantor cukup besar dengan Rp25 juta setahun, saya pindahkan ke rumah sendiri dengan mengorbankan lantai dasar untuk kantor seluruhnya. Rumah pun disulap menjadi small office home office untuk menampung beberapa orang karyawan plus saya.
Bisnis saya bisnis pengembangan konten dan konteks khusus buku plus pelatihan-konsultasi penulisan dan ditambah bisnis baru e-Book store. Modal utama yang paling mahal memang gagasan. Karena itu, inti bisnis ini adalah harus menyegarkan gagasan setiap saat—itu mengapa bisnis ini agak sulit dimasuki karena memerlukan keterampilan khusus mengolah gagasan menjadi produk media. Dan saya mengubah strategi yang tadinya bergantung pada bisnis jasa, kini ditambah juga dengan bisnis penjualan produk: buku cetak dan buku elektronik.
Belajar dari balada para CEO maka kewirausahaan itu memang sebuah ruh yang berkembang dan terbentuk dari mental-mental positif. Mental positif memang selalu terkoneksi dengan pikiran positif. Semoga hari-hari ke depan lebih menyadarkan kita untuk berproses sebagai wirausahawan dengan cerdas sekaligus cergas. Semangat!
©2013 oleh Bambang Trim
Praktisi penulisan dan penerbitan Indonesia.