The Power of Creativity

Manistebu.com | “When you ask creative people how they did something, they feel a little guilty because they didn’t really do it, because they were able to connect experiences they’ve had and synthesize new things.” – Steve Jobs, Wired Magazine (Februari 1996)

Betul kata Steve Jobs, boss Apple Inc. yang akhirnya mengembuskan nafas terakhir pada Oktober 2011 lalu.  Orang-orang kreatif itu sebenarnya sedikit merasa bersalah jika ditanya bagaimana mereka bisa sekreatif itu mencipta sesuatu—apa yang terjadi (sebenarnya) adalah mereka berhasil menghubungkan pengalaman yang mereka miliki dan meramunya menjadi sebuah hal baru. Begitupun yang terjadi dalam kreativitas dunia perbukuan kita; seperti tidak ada sesuatu yang benar-benar baru, kecuali perubahan bentuk suatu konsep menjadi lebih menarik serta diterima pasar secara meriah.

Namun, bagaimanapun kreativitas tetaplah sebuah kekuatan yang dimiliki orang-orang dengan passion luar biasa. Passion kreativitas ini yang membuat seorang Arswendo Atmowiloto mengatakan bahwa “mengarang itu gampang” dan jargon … itu gampang pun mencelat enteng digunakan dalam banyak buku kemudian.

Orang kreatif memandang segalanya menjadi gampang sehingga akhirnya dalam dunia perbukuan terjadi “kreativitas” mencipta judul dengan teori gampangan: “Belajar … dalam Satu Hari” atau “30 Hari Menguasai ….” Kita tidak perlu tertawa, cukup tersenyum kecut bahwa ini sebuah fenomena dari apa yang disebut kreativitas, terutama dalam dunia perbukuan kita.

Negara kita Indonesia memang sedang asyik berurusan dengan kreativitas, apalagi jika dikaitkan dengan pengembangan ekonomi kreatif hingga dirasa perlu mengadakan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemparekraf)–sekarang dipisah menjadi Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Tidak tanggung-tanggung ekonomi kreatif yang hendak dikembangkan ada 14, yaitu 1) periklanan; 2) arsitektur; 3) pasar barang seni; 4) kerajinan; 5) desain; 6) fesyen; 7) video, film, fotografi; 8) permainan interaktif; 9) musik; 10) seni pertunjukan; 11) penerbitan dan pencetakan; 12) layanan komputer dan peranti lunak; 13) televisi dan radio; 14) riset dan pengembangan.

Belakangan ditambah satu pengembangan lagi yaitu kuliner. Secara umum ke-15 industri kreatif yang dikembangkan itu memang menunjukkan kecenderungan melaju walaupun tidaklah setara pada setiap bidang. Bagaimana dengan industri penerbitan atau lebih khusus perbukuan kita?

Bisnis Mandek, Judul Melaju

Berita tidak terlalu menggembirakan sebenarnya bahwa pertumbuhan bisnis industri perbukuan kita, terutama buku umum, dalam dua atau tiga tahun terakhir ini terasa mandek. Pertumbuhan bisnis memang tidak segaris dengan pertumbuhan judul atau juga pertumbuhan penulis buku yang dalam tiga tahun terakhir ini begitu melesat.

Kebiasaan menulis yang ditumbuhkan internet lewat blog ataupun situs melahirkan banyak penulis baru. Kemudahan mengoneksi berbagai pengetahuan lewat internet pun menumbuhkan kegemaran baru yaitu menulis dan kepercayaan diri para penulis baru ini pun dibangkitkan dengan maraknya pelatihan penulisan buku instan, program penulisan buku rombongan (antologi), serta program meyakinkan untuk menerbitkan buku sendiri (self-publishing). Judul dan eksemplar buku benar-benar membanjiri Indonesia dengan segala bentuknya.

Satu buku yang sukses mengusung suatu tema, saking kreatifnya akan keluar berbagai epigonnya dengan mengusung tema yang sama dari penerbit lainnya. Kita masih ingat bagaimana kasus topik “otak tengah” segera menjadi buku renyah cepat saji dengan belasan, bahkan puluhan variasi judul serta menggunakan “kata-kata keramat”: rahasia, keajaiban, misteri, atau mukjizat.

Hal serupa yang mengundang senyum juga terjadi pada upaya menghadirkan buku tentang tokoh. Steve Jobs yang segera diketahui berita kematiannya, langsung diramaikan dengan terbitnya buku-buku bertopik Steve Jobs—tampaknya hanya terjadi di Indonesia. Saat ini kita pun melihat kreativitas mengemas tokoh yang lagi naik daun melalui buku, baik itu dengan izin sang tokoh ataupun tanpa izin sang tokoh. Dua tokoh yang mulai berkejaran produksi judul bukunya adalah Dahlan Iskan dan Joko Widodo (Jokowi). Jika tanpa diferensiasi, buku-buku tersebut akan saling menganibal buku lainnya. Tinggallah hanya harapan dan doa bahwa buku yang dibuat penerbit berjodoh dengan seorang pembaca yang lagi galau melihat begitu banyak judul dengan tema serupa.

Dalam pikiran pembaca tersebut akan ada tiga hal: 1) buku mana yang paling murah, tetapi paling lengkap; 2) buku mana yang ditulis oleh penulis paling kredibel; 3) buku mana yang diterbitkan oleh penerbit terkenal. Sayangnya memang penerbit tidak terlalu menjadi pertimbangan banyak calon pembaca (pembeli) buku, topik atau temalah yang menjadi pertimbangan mereka berikut harga; bahkan penulis pun hanya menempati urutan kedua, kecuali tentunya penulis yang sudah punya nama besar.

Boleh dikatakan kreativitas masyarakat penulis atau perbukuan kita dalam tiga tahun terakhir ini untuk memproduksi buku cenderung tinggi. Data dari sumber TB Gramedia pada 2011 paling tidak dalam satu bulan diterima sekitar 2.300 judul baru—suatu jumlah yang luar biasa dalam satu dekade ini. Masalahnya kita masih perlu penelitian apakah pembacanya juga cenderung bertumbuh signifikan.

Fakta yang menunjukkan kelemahan bisnis perbukuan adalah tersendatnya pertumbuhan saluran penjualan buku yaitu toko buku. Praktis hanya TB Gramedia yang mengalami pertumbuhan dan pertambahan jumlah tokonya dari tahun ke tahun sehingga daya tampung untuk pajangan buku secara keseluruhan juga terbatas. Buku yang tidak terpajang secara baik ataupun dalam waktu lama tentu membuatnya layu sebelum berkembang—retur buku pun menjadi hal menakutkan bagi para pelaku bisnis perbukuan.

Alhasil, hanya satu yang terpikir kembali bagaimana kreatif memasarkan buku tanpa bergantung pada toko buku yang cenderung kurang berkembang di Indonesia. Para penerbit harus kreatif, begitu pula para penulisnya yang tidak bisa lagi ongkang-ongkang kaki, lalu menerima royalti. Para penulis harus ikut secara kreatif menghidupkan bukunya, menghubungkannya dengan banyak para calon pembaca potensial, serta mewartakannya di mana pun ia berada. Para penerbit pun harus berpikir kreatif menjajarkan sekian trade channel, lalu berusaha memprioritaskan optimalisasi 2-3 saluran penjualan.

Kita pun akan sadar dan mafhum betapa hebat dan berdayanya sebuah kreativitas itu. Namun, kita pun tahu tidak begitu gampang memilikinya meskipun kita membaca buku “Cara Gampang Menjual Buku dalam Satu Hari” atau “Kaya dari Bisnis Penerbitan Beromzet Miliaran”. Setidaknya kita tidak terjebak menikmati ide-ide kreativitas tanpa mampu menjalankannya secara kreatif pula.

Kreativitas Muncul dalam Keterdesakan

Belum pupus kekhawatiran soal persaingan penjualan buku yang makin ketat dan terbatasnya tempat pemajangan buku sehingga berakibat pada penurunan pendapatan, muncul juga kekhawatiran perubahan perilaku pembaca. Perkembangan teknologi gadget yang mengarah ke tablet memungkinkan bertumbuhnya juga buku-buku elektronik. Para penerbit banyak terkimbang-kimbang apakah masih mampu meneruskan buku-buku kertas (paper book) atau mulai beralih ke penerbitan digital; bahkan lebih ekstrem lagi beralih ke bisnis lain.

Namun, sebenarnya inilah masa untuk memunculkan kreativitas itu sejatinya dalam keterdesakan atau bahasa populernya the power of kepepet. Memang belum ada tanda-tanda masyarakat kita mengalihkan perhatian secara besar-besaran ke buku elektronik, kecuali mungkin berangsur terjadi pada media massa cetak. Sebenarnya bukan soal teknologi atau medianya yang penting menjadi perhatian, pengemasan kontenlah yang harus menjadi perhatian yaitu bagaimana penerbit mulai melakukan aneka perubahan terhadap penyajian konten untuk buku dan memasarkannya secara menarik pula. Sekali lagi yang mengemuka adalah soal kreativitas.

Meminjam defenisi Steve Jobs bahwa penerbit sebagai profesi harus mampu mengoneksi segala pengalaman yang mereka miliki dan meramunya menjadi sesuatu yang baru itulah yang disebut kreatif. Sebegitu banyak sebenarnya penerbit yang sudah berusia sepuluh sampai dua puluh tahun, bahkan lebih memiliki kekayaan konten yang dapat diramu lagi dalam bentuk penyajian lain dengan ketersediaan berbagai media berteknologi tinggi kini.

Ya, kita terdesak oleh teknologi; kita terdesak oleh perubahan zaman dan munculnya generasi baru yaitu generasi digital; kita terdesak oleh ide-ide yang meluncur deras dari belahan dunia lain; kita terdesak oleh waktu…. Selanjutnya, kita pun terdesak oleh tawaran menjadi subjek isu perbukuan dunia yaitu kesempatan menjadi tamu kehormatan (Guest of Honour) di Frankfurt Book Fair 2015. Kita pun terdesak segera mengadakan Undang-Undang Sistem Perbukuan di luar pro dan kontra terhadap undang-undang ini yang sedak digodok Komisi X DPR. Bagaimana wajah perbukuan kita bisa ditampilkan dalam keterdesakan ini sehingga tidak malah membuat kita tersedak-sedak?

Indonesia Book Fair 2012 mengusung tema The Power of Creativity sebenarnya seperti wake up call agar masyarakat umum dan masyarakat perbukuan terbangun segera bahwa waktu sudah menunjukkan akhir 2012. Kita tentu tidak diharapkan kreatif mengeluarkan keluhan demi keluhan sepanjang tahun sepertinya halnya banyak orang iseng yang kreatif mengeluarkan berita bohong (hoax) di jejaring media sosial ataupun ponsel cerdas blackberry. Keluhan hanya memunculkan ketakutan-ketakutan baru tanpa ujung penyelesaian yang berarti dan membuat kita enggan mencipta atau berkarya. Di sinilah Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) mesti berjuang keras mengoneksi segala pengalamannya dan meramunya menjadi sebuah formula baru untuk keberlangsungan industri perbukuan nasional dengan wujud kreativitas hingga menjadi inspirasi bagi para penerbit anggotanya.

Kata kuncinya bahwa kreativitas akhirnya sebuah proses. Berkarier menjadi penulis atau penerbit buku adalah sebuah proses dan tidak terjadi secara instan. Proses itulah yang menggumpalkan pengalaman hingga kita diberi anugerah oleh Tuhan berbagai pikiran kreatif menuju sesuatu yang lebih baik atau lebih baru. Nyatanya sudah begitu banyak pengalaman yang mengharu biru Indonesia, termasuk dunia perbukuan kita hingga sebenarnya dapat memunculkan beragam kreativitas baru bagi mereka yang memang benar-benar dapat melihat “lautan biru”.

Untuk dapat melihat lautan biru atau blue ocean dalam dunia perbukuan memang memerlukan stimulus. Salah satu tiketnya adalah dengan mengunjungi tempat “lautan buku” berada semisal pameran buku Indonesia Book Fair. Syukur-syukur Anda juga dapat mengunjungi pameran buku terbesar di dunia yaitu Frankfurt Book Fair 2013 yang akan datang. Namun, syaratnya Anda harus mengaktifkan seluruh panca indra dan sekali lagi mengoneksinya dengan pengalaman-pengalaman Anda soal kehidupan, termasuk dalam dunia perbukuan. Barulah Anda kemudian akan bertemu dengan kreativitas segala hal tentang buku, apa pun itu.

Saya menutup tulisan ini cukup dengan dua kalimat bahwa “Indonesia adalah surga konten; Indonesia semestinya menjadi biang kreativitas”.

 

 

 

2 thoughts on “The Power of Creativity”

  1. Dedi Alfiandri Allison

    Judul yang pantas dikedepankan dan memang telah dipasangkan dengan baik oleh Pak Bambang di Indonesia Book Fair 2012 ini.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *