Tulisan ini menjadi tulisan lanjutan dari status saya di fanpage Jejaring Bambang Trim tentang writerpreneur.
Seseorang yang memutuskan menjadi writerpreneur, pengusaha di bidang penulisan, tentu akan sampai pada seberapa besar modal yang diperlukan untuk itu. Saya pernah juga membahas soal ini dan kaitannya dengan peralatan yang kita perlukan.
Namun, menjadi seorang writerpreneur tidaklah memerlukan modal sebesar menjadi penerbit, apalagi pencetak. Modal utama seorang writepreneur adalah keterampilan atau skill dirinya sendiri. Skill berhubungan dengan kecepatan dan kemampuan mengembangkan ide-ide penulisan.
Lalu, bagaimana dengan alat kerja yang kita perlukan. Terus terang modal kerja terbanyak yang saya habiskan adalah untuk buku atau referensi karena makin banyak referensi berada dalam jangkauan saya, makin cepat saya untuk menulis.
Saya memiliki satu kemampuan anugerah Yang Mahakuasa. Keterampilan itu saya sebut interconnecting–kemampuan menghubungkan keperluan informasi dengan referensi yang tersedia. Karena hampir semua buku saya baca dan saya kenali, saya dapat dengan mudah mencari sebuah sumber berdasarkan ingatan (koneksi) dari koleksi yang saya miliki.
Sebenarnya ini bukan keajaiban, hanya kemampuan mengingat saja saking dunia teks itu sudah mengalir di dalam diri saya. Saya kadang membeli buku bukan untuk “dibaca”, melainkan untuk dijadikan referensi dan dikaji. Ya misalnya, ada buku yang begitu laku, lalu saya beli. Saya bukan tertarik pada isinya bukunya, tetapi tertarik mengapa buku seperti ini bisa laku. Jadi, yang saya lakukan adalah meriset buku tersebut.
Modal Alat
Baiklah, saya mulai saja dengan modal alat yang paling diperlukan seorang writerpreneur. Anda pasti sudah tahu, itulah PC atau laptop. Saya memiliki keduanya karena kalau di rumah saya lebih nyaman dengan PC dan kalau di luar untuk mobile, saya baru menggunakan laptop.
PC/Laptop. Untuk urusan harga Anda tentu sudah mafhum yaitu dalam kisaran Rp4 juta sampai yang tercanggih seharga belasan juta. PC yang saya pakai sekarang tergolong jadul hanya menggunakan prosesor Intel Core 2 Duo. Ya, karena program umum yang saya gunakan adalah MS-Word. Hanya beberapa buku yang saya kerjakan langsung dengan In-Design dan Photoshop. Jadi, jelas pertama kita perlu Rp4.000.000,00.
Printer. Apakah perlu? Ya, kadang-kadang saya mencetak dokumen untuk melakukan editing mekanik (mechanical editing) jika dokumen tidak terlalu panjang. Printer juga berguna untuk mencetak surat atau proposal. Di rumah yang merangkap kantor, saya punya satu printer Epson A3 fullcolor dan satu printer laser HP ukuran A4. Jika Anda memerlukan, tentu harus merogoh kocek juga dalam kisaran Rp2.000.000,00 s.d. Rp6.000.000,00.
Scanner. Apakah perlu juga? Ya, kadang-kadang perlu jika kita tidak memperoleh materi grafis dari internet, tetapi berupa bahan tercetak. Contoh, kliping koran ataupun foto jadul. Kita bisa melengkapi kemudian dengan harga di bawah Rp1.000.000,00.
Kamera Digital. Apakah perlu? Kalau Anda berminat dalam fotografi dan punya insting fotografer, hasil jepretan Anda bisa sangat berharga untuk nantinya menjadi bahan visual buku atau juga bahan visual promosi. Bolehlah Anda investasikan Rp3.000.000,00 atau lebih untuk alat ini.
Dari semua alat kerja desktop publishing itu tentu yang paling penting dan prioritas adalah PC/laptop. Alat lain bisa Anda cicil melengkapinya dengan mengumpulkan dana dulu dari beberapa order pekerjaan yang bisa Anda dapatkan.
Modal Operasional
Tentulah ada biaya lain di luar alat yang sangat diperlukan seorang writerpreneur. Untuk konteks kini salah satu yang penting adalah jaringan internet. Saya menggunakan jaringan Speedy Telkomsel dengan biaya bulanan lebih kurang Rp700.000,00.
Biaya listrik bisa juga menjadi komponen yang kita hitung karena komputer dan peralatannya pasti menyala sangat lama saat kita bekerja. Saya sendiri menggunakan daya listrik 2.200 VA karena juga menggunakan beberapa komputer untuk tim dengan biaya bulanan rata-rata Rp400.000,00.
Selain itu, ada biaya yang saya keluarkan untuk wara wiri bertemu dengan calon klien atau klien di luar kota, umumnya di Jakarta. Paling tidak sekali ke Jakarta saya menghabiskan dana lebih kurang Rp400.000,00 terbatas atas 1) biaya mobil travel pp Rp200.000,00; 2) biaya transportasi dalam kota Rp100.000,00; 4) biaya makan Rp100.000,00. Ya, tentu saya akan mendatangi calon klien potensial. Terkadang untuk menghemat biaya, saya menggabungkan pertemuan dalam satu hari antara 2-3 pertemuan.
Hitungan operasional bulanan memang bisa mencapai Rp2 jutaan. Mungkin tampak tinggi, tetapi ini sesuai dengan target pasar yang hendak kita bidik.
Di luar ini ada juga biaya seperti pembuatan web serta juga biaya pendirian perusahaan lengkap dengan legalitas perusahaan yang menjadi biaya-biaya awal dalam kapasitas kita bekerja sebagai seorang profesional.
Modal Dengkul
Mungkin Anda penganut bisnis tanpa modal, tetapi sepengalaman saya hal itu memang sulit dilakukan. Paling tidak yang utama Anda harus punya laptop agar Anda bisa bekerja mobile. Cara paling umum adalah memanfaatkan fasilitas kafe yang menyediakan colokan listrik dan hot spot internet. Alhasil, Anda bisa menghemat biaya operasional dan menggantinya dengan biaya satu cangkir kopi, sebotol air mineral, dan sepiring nasi goreng.
Anda bisa masuk ke zona profesional yang benar-benar memiliki sebuah perusahaan berbadan usaha/hukum dengan menabung hasil jasa yang Anda jual. Ya, Anda paling tidak harus menghasilkan >Rp5 juta per bulan dari menjual jasa menulis dan menyunting plus layout jika Anda bisa melakukannya. Di sini Anda harus berani mematok DP 50% dari total biaya penulisan atau pembayaran di muka 100% jika pekerjaannya di bawah Rp2 jutaan.
***
Itu saja dulu. Pertanyaan bisa Anda ajukan lewat komentar di bawah ini. Anda juga bisa menunggu terbitnya buku saya tentang writerpreneur yaitu A-Z Writerpreneur yang terbit akhir tahun ini.
Salam writerpreneur!
©2014 oleh Bambang Trim
Kalau saya lebih enak pakai laptop, mas. Listrik juga lebih irit dan AMAN kalau listrik mati mendadak. Siapa yang mau kalau sudah ketik banyak kalimat langsung hilang karena PLN ngambek. Jadi saya singkirkan opsi desktop karena risiko itu. Haha.
Untuk kamera digital rasanya bisa ditunda karena kamera ponsel sudah lumayan ok.
Dan kalau menurut saya sih penulis harus punya Blackberry karena jadi bisa ngetik nyaman di mana saja kapan saja. Untuk layar sentuh, mengetiknya kurang mantap. Atau kalau tidak, bawa notes kecil untuk catat ide-ide seperti David Sedaris yang bawa notes ke mana-mana untuk mencatat kejadian sehari-hari yang unik untuk materi tulisannya.
Ya berdasarkan kenyamanan saja :). Saya memakai PC karena kerap juga melakukan layout dan mengolah foto. Maklum mata juga sudah minus gede, jadi perlu yang agak leluasa dalam pandangan.
Oh gitu. Hehe. Kebutuhan dan preferensi kita beda. Saya reporter juga jadi lebih enak nulis mobile ke mana-mana.
Ya kalau Anda memang melakukan liputan di mana-mana pastilah perlu alat yang mobile. Saya juga gunakan laptop kok kalau memang harus bekerja di luar atau membawa all in one PC jika harus menetap di suatu tempat, tapi laptop lebih banyak digunakan untuk mengisi training. Dulu saya juga pemred di sebuah tabloid.
Berarti investasi kacamata juga ya harusnya. Plus meja berdiri, karena konon kebanyakan duduk bikin penyakitan.
Hehehe terserah aja karena saya sudah pakai kacamata sejak SD. Mau meja berdiri seperti di min market juga terserah kalau dianggap banyak duduk bikin penyakitan. Semua pekerjaan ya berisiko penyakitan.
Saya banget tuh Pak, nongkrong di kafe berebut wifi. Atau datang ke kampus, padahal udah mantan mahasiswa. Hahaaa. Kadang klien yang minjemin bolt plus bookingin tempat (khusus klien tertentu).
Saya kok lebih nyaman nulis ditempat keramaian daripada di rumah ya? Ini masalah banget, karena bikin saya banyak wira wiri.
Salam
Ika Kristin D
Wow mantap mbak Ika, memanfaatkan kafe sebagai tempat kerja. Menulis di tengah keramaian itu tidak semua orang mampu melakukannya. Namun, seorang writerpreneur harus mau melatihkannya.
Salam writerpreneur,
Bambang Trim