Manistebu.com | Lama saya tidak menulis lagi buku-buku motivasi religi seperti yang dulu saya lakukan di Penerbit MQS, Salamadani, dan juga Tiga Serangkai. Jika dihitung sejak 2011 maka sudah lewat 6 tahun.
Kerinduan itu saya pupuskan dengan menulis buku Rezeki Saya Dipatuk Ayam yang saya mulai sejak Desember 2016. Nah, apakah saya jadi ikut-ikutan menulis buku tentang rezeki? Ya sejujurnya boleh dibilang begitu plus geregetan.
Saya kira juga dorogan untuk menuliskannya selain karena geregetan, juga karena pengalaman dan pemahaman yang saya dapatkan pada kasus hidup saya sendiri dan pada buku-buku yang saya bantu untuk menuliskannya.
Saat membantu menuliskan buku berjudul COME: Mendatangkan Keberkahan yang Mengubah Hidup Anda karya Ustad Wahfiudin Sakam (terbitan Noura), di situ saya merasa mendapatkan mata baru soal hidup, termasuk soal sukses dan bahagia. Dulu sekali, saya juga pernah membantu menuliskan buku Saya Tidak Ingin Kaya, Tapi Harus Kaya karya Aa Gym. Buku yang terakhir saya sebut ini kekuatan teori dan rohaninya soal penjemputan rezeki memang belum sekuat COME meskipun itulah kali pertama saya mendalami soal rezeki.
Saya juga sangat terpengaruh oleh dua buku lain. Satu karya Agus Mustofa berjudul Mengubah Takdir dan satu lagi buku Mengubah Tidak Mungkin Menjadi Mungkin karya Basuki Subianto. Buku yang terakhir berkali-kali saya baca dan saya jadikan rujukan karena saya senang dengan gaya penyajian serta pemikiran penulisnya. Soal mengubah takdir itu menarik. Kata Agus Mustofa kebanyakan dari kita tidak dapat membedakan takdir dan nasib.
Btw, Pak Agus Mustofa ini pernah bersua saya di MQS sewaktu kami mengadakan bedah buku beliau. Ia pernah bekerja sebagai wartawan di grup media besar dan sempat berkuliah di Teknik Nuklir, UGM. Ini berarti sealmamater dengan kolega saya, Mas Abi Ratno, yang jadi mitra saya mendirikan Insitut Penulis Indonesia. Saya ngeri-ngeri sedap dengan jurusan kuliah mereka itu.
Nah, kata Pak AM, soal takdir ini sudah menjadi diskusi serta perdebatan panjang sejak beliau kuliah. Bahasan soal takdir termasuk yang diliputi misteri yang terkandung dalam ayat-ayat mustasyaabihat.
Saya sendiri juga mengalami diskusi soal takdir ini. Termasuk guru menulis saya, Abangnda Syamsuddin Ch. Haesy yang mengatakan takdir itu seperti white board bagi Allah, tinggal ditulis dan dihapus. Ini juga masih misteri.
Soal takdir itu bahasan konsep dan memang sangat relevan ketika membahas rezeki yang juga pasti dikaitkan dengan takdir dan nasib. Apakah sama takdir dan nasib? Pemasaran? Eh, penasaran? Nanti saja saya bahas di dalam buku dengan mengutip pandangan pakar dan olah akal saya tentunya sebagai manusia yang berikhtiar untuk berpikir.
Banyak buku soal rezeki lain yang saya baca dan pelajari, temasuk buku-buku Ippho Santosa yang kemudian melahirkan banyak “pengekor”. Soalnya tema rezeki itu memang selalu aktual dan banyak membuat orang kepo untuk tahu soal jadi kaya. Kadang secara filosofis para penulis pun menyatakan rezeki itu bukan soal uang/materi aja, melainkan banyak juga yang tidak berwujud dan bisa dirasakan. Contohnya, kesehatan dan kesempatan.
Untuk menulis buku ini, saya memerlukan bahasan yang ilmiah soal rezeki. Beruntung saya mendapatkan juga pencerahan dari salah seorang guru saya, Pak Syaiful Bachri, namanya–seorang master coach NLP. Saya terhubung dengan beliau juga syariatnya melalui kegiatan tulis-menulis meskipun saya tidaklah paham-paham amat soal NLP.
Alhasil, ada satu pandangan saya soal rezeki bahwa rezeki itu tidak ajaib atau bukan sebuah keajaiban. Namun, ada yang memang ajaib yaitu manusia yang menemukan rezeki itu. Karena itu, tidak dapat disangkal bahwa manusia dijadikan dengan sebaik-baik bentuk (ahsanu taqwim) karena ia dipersiapkan Allah Swt. menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi ini.
Jadi, soal rezeki itu adalah soal kepemimpinan. Tugas dan fungsi pemimpin itu yang utama adalah mengambil keputusan. Keputusan akan sangat bergantung pada kapasitasnya. Kapasitas akan sangat bergantung pada kesadarannya menggunakan akal dan modalitasnya sebagai manusia yaitu pancaindra.
Semua saling berhubungan sehingga keajaiban itu terletak pada manusianya, bukan pada rezekinya. Rezeki ya begitu-begitu saja dari dulu. Sifat rezeki itu ada yang ditunaikan (dibayar kontan), ada yang ditunda, ada yang dicabut/dialihkan, dan ada yang dijanjikan. Semua bergantung pada takdir yang “dipilih” manusia. Sekali lagi soal takdir, nanti saja dibahas.
Buku Rezeki Saya Dipatuk Ayam ini seperti bentuk refleksi ringan sedikit mendalam saya soal rezeki sehingga boleh disetujui dan boleh juga disangkal. Saya jadikan saja hidup saya sebagai cermin yang sedikit retak. Untungnya masih dapat becermin. Biar yang baca juga tidak terlalu baper soal rezeki ini.
Kapan terbitnya? Insya Allah sebelum Ramadan hendak saya kejar terbit. Penerbitnya siapa? Belum tahu saya. He-he-he.[]