Avanza, Xenia, Livina, dan seterusnya adalah ikon-ikon kelas menengah baru Indonesia. Lalu, ditambah gadget semacam iPad, Galaxy Tab, Blackberry, iPhone, atau Nokia Lumia yang menyambungkan banyak orang ke media sosial rasanya makin menaikkan ongkos gaya hidup untuk menjadi manusia modern. Bagaimana dengan dunia penerbitan?
Beberapa waktu lalu server Blackberry down sehingga antarpengguna BB tak mampu mengirimkan pesan BBM ke kontaknya. Lepas maghrib waktu Indonesia bagian barat, BBM kembali normal. Serentak muncullah broadcast (bc) hoax tentang instruksi untuk mengirimkan pesan BC itu ke seluruh kontak BB. Ada yang tidak tahu itu BC hoax, ada yang mengingatkan teman kontaknya, ada yang memaki-maki, dan ada yang mengkritik pengguna smartphone itu sebagai orang-orang yang tidak smart. Dalam canda saya, smartphone kan memang buat orang-orang tidak cerdas agar lebih mudah menggunakannya, apalagi yang user friendly. He-he-he.
Fenomena tadi adalah fenomena kelas menengah yang tengah bertumbuh di Indonesia. Bank Dunia melansir data bahwa 56,5% populasi Indonesia atau sekitar 134 juta jiwa masuk kategori kelas menengah dengan nilai belanja $2-20 per harinya (Kompas, 5/10). Artinya, memang kelas menengah Indonesia mengeluarkan uang sekitar Rp20 ribu sampai dengan Rp200 ribu per hari. Tentu penghasilan mereka rata-rata di atas Rp6 juta per bulannya. Penghasilan yang relatif tinggi membuat kelas menengah Indonesia paling tidak memiliki satu buah mobil dan rumah meskipun dengan cara kredit, dan tentunya juga gaya hidup dengan alat-alat berteknologi tinggi. Hal yang paling terlihat bertumbuh adalah aktivitas belanja online.
Dalam hal dunia penerbitan, aktivitas literasi seperti membaca dan menulis pun meningkat pesat dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Gejala self-publishing adalah salah satu yang paling mencolok terlihat dalam berkarya tulis, imbas dari kemajuan teknologi, terutama internet dan desktop publishing. Di sisi lain, para penerbit pun ketar-ketir dengan kedatangan tablet yang sering diramalkan akan menjadi pintu masuknya era digital publishing yang lebih hebat menggantikan buku tradisional (paper book).
Banyak orang yang membicarakan buku kini di media sosial. Banyak penerbit yang memanfaatkan media sosial untuk berpromosi dan menghimpun pembaca. Banyak pula penulis baru yang bermunculan dan “memamerkan” kepiawaian mereka mengolah kata-kata di blog. Muncul kemudian gerakan menerbitkan atau menulis buku bersama-sama yang disebut antologi sehingga tiba-tiba muncul pula istilah buku “solo” untuk menyebutkan bahwa mereka sudah keluar dari kebiasaan berantologi-ria dalam berkarya. Padahal, buku antologi dari dulu sudah ada dan biasa; pun buku solo adalah kelaziman dari eksistensi dalam berkarya. Namun, dalam era digital pada jagat maya kini maknanya menjadi berbeda.
Para penerbit atau mereka yang berprofesi sebagai penerbit dari dulu sudah menikmati jati diri sebagai kelas menengah. Mereka biasanya tumbuh dari kaum intelektual seperti guru atau dosen, beberapanya lagi dari kaum pedagang. Sejarah penerbitan di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari suku Minang yang pada masa dahulu terkenal sebagai penulis (sastrawan) dan memiliki orientasi berkarya dalam bentuk buku. Jadilah kemudian banyak pengusaha penerbitan buku itu berasal dari suku Minang pada masa beberapa dekade lalu, tetapi kini tentu keadaannya sudah berbeda.
Namun, yang tampaknya sulit masuk dalam kategori kelas menengah adalah para penulis sebagai pemasok bahan baku penerbit itu sendiri di Indonesia. Hampir sering terdengar, bahkan sampai kini bahwa menjadi penulis itu bukanlah pilihan karier yang tepat jika memimpikan hendak menjadi kelas menengah Indonesia. Penulis Indonesia sebagian besar masih berada di bawah garis kekayaan. Asumsi inilah yang terus berkembang, bahkan sampai kini.
Paling mudah tentu mendeteksi seseorang yang berhasil menjadikan tulis-menulis sebagai gantungan hidupnya adalah ukuran kelas menengah. Apakah sang penulis sudah punya rumah sendiri? Apakah sang penulis sudah memiliki mobil pribadi? Apakah sang penulis sudah pernah plesiran ke luar negeri? Apakah sang penulis punya alat kerja dan gadget yang mumpuni untuk tugas menulisnya: smartphone, komputer tablet, laptop, kamera digital, perekam digital, dan sebagainya? Apakah sang penulis punya tabungan dan asuransi untuk keluarganya? Hmmm…. pertanyaan-pertanyaan yang terkesan materilistis, tetapi bukankah pertanyaan ini menjadi ukuran nyata tentang seorang penulis yang dapat ditempatkan sebagai kelas menengah Indonesia–bukan hanya PNS, karyawan swasta, atau mereka yang disebut pengusaha?
Beberapa mengesampingkan soal titel kelas menengah ini, begitupun ukuran-ukuran materi yang dapat disematkan kepada mereka. Penulis-penulis itu tetap hidup dalam idealisme berkarya meski harus menjalani kesusahan. Terkadang akhirnya memang memilih bekerja menjadi karyawan biasa dengan gaji biasa dan tentu karya yang juga biasa–lebih gawat lagi dengan produktivitas yang biasa-biasa juga. Untuk keluar dari kotak nasib ini yang membuat profesi penulis tidak begitu seksi bagi banyak orang memang harus direnungkan sebuah breakthrough atau quantum leap.
Momentum yang bagus itu adalah sekarang ketika muncul kelas menengah baru dari berbagai kalangan. Mereka adalah penikmat karya tulis dan juga ingin menjadi kreator karya tulis; sebagian besar lagi malah memerlukan jasa penulisan. Inilah yang saya sebut sebagai peluang dengan melihat “bisnis itu tulisan dan tulisan itu adalah bisnis”. Cara berpikir sebagai penulis harus diluaskan dari sekadar menulis untuk media atau penerbit yaitu menghasilkan karya berupa artikel, feature, atau buku, berkembang menjadi menghasilkan karya sebagai jasa untuk bisnis.
Biarkan sebuah perusahaan memesan karya tulis kepada kita; biarkan seseorang menginginkan kita membukukan dirinya; biarkan pemerintah menjadikan kita konsultan untuk menyusun berbagai kebijakan secara tertulis; dan biarkan semua bidang menggunakan jasa kita untuk menulis dan menulis. Selanjutnya, ada hal lain yang berkembang ketika kita sudah menemukan jalan menulis, menikmatinya dengan passion tinggi, yaitu munculnya metode, strategi, serta teknologi untuk membantu orang juga bisa menulis. Uang pun akan mudah dihasilkan dari pendidikan dan pelatihan yang kita kembangkan. Dalam satu hari sebagai trainer atau tutor penulisan, Anda bisa berpenghasilan Rp2-Rp6 juta, bahkan lebih. Ya satu hari, sekitar 6-7 jam!
Lihat kover buku tentang penulisan pro di atas. Seorang penulis dapat berpenghasilan $200 per jam (setara hampir Rp2 juta). Di dunia Barat yang sudah maju aktivitas literasinya, tulis-menulis memang menjadi bisnis tersendiri. Sebuah buku bagus tentang bisnis menulis pernah diterbitkan Grasindo berjudul How to Start and Run a Writing & Editing Business karya Herman Holtz, tahun 2000. Holtz bukan hanya masuk ke pasar menulis di perusahaan-perusahaan, melainkan juga di keluarga dengan menerima jasa menulis surat pribadi.
Nah, sekarang kalau Anda menjadi penulis pro dan merasa harus masuk dalam kategori kelas menengah agar tak lagi orang mencibir tentang profesi penulis, berapakah harga yang layak untuk Anda menulis satu halaman? Berapa? Apakah Rp20.000, Rp50.000, Rp100.000? Sederhana saja kalkulasi saya: “Writerpreneur adalah orang yang mampu mengubah satu rim kertas seharga Rp30 ribu menjadi kertas berisi tulisan seharga Rp30 juta!” Berarti kalau Anda menulis 100 halaman, Anda harus dibayar Rp60 ribu per halaman maka Anda mendapat bayaran total Rp6 juta. Masih terlalu kecil? Tinggal naikkan standar Anda sampai mau berapa dan pasarnya memang yang Anda tembus bukan pasar biasa-biasa.
Saya sendiri sudah melakoni diri sebagai penulis buku, penulis lepas untuk media, book packager, publishing service, self-publisher, publisher, copywriter, editor, guru SMA, dosen di tiga PTN, tutor pelatihan, dan konsultan di bidang penulisan-penerbitan. Kini saya mulai menyusun strategi memanfaatkan pertumbuhan kelas menengah ini dengan menciptakan produk dan jasa sekaligus. Jika tidak ada aral berarti, produk tersebut akan saya luncurkan pada November 2012.
Saya tidak mau termangu dan terus berkeluh kesah soal minat baca, minat menulis, ataupun orang-orang yang makin gandrung dengan gadget sehingga mengancam buku cetak. Saya tidak sedang berkutat dengan buku saja, saya berkutat menciptakan konten yang dalam waktu dekat ataupun kelak menjadi berguna sebagai penghasil rupiah–apa pun jadinya bentuk konten itu. Saya pun tidak ingin berlama-lama mempersoalkan royalti dari penerbit yang tak kunjung membaik; saya berkonsentrasi pada karya baru atau memperbarui karya lama.
Dari siaran radio bisnis Pas FM, saya mendengar suara Pak Tanadi Santoso. Saya senang mendengar logat Jawanya sekaligus konten cerita yang bernas dan kali itu ia menceritakan baru selesai membaca sebuah majalah terbitan luar negeri. Majalah itu menyajikan laporan tentang teknologi alat penulis automatis. Beberapa ahli sedang mengembangkan sebuah alat yang mampu membuat tulisan sendiri dengan berbagai jenis tulisan serta gaya yang diinginkan. Alat ini dimaksudkan untuk mengganti peran para penulis di perusahaan-perusahaan maupun organisasi lain untuk melakukan pekerjaan pembuatan surat, laporan, dan jenis tulisan lainnya seperti konten web. Laporan ini tentu akan membuat para penulis bisnis ketar ketir karena akan kehilangan job, tetapi ya kita lihat saja nanti perkembangan alat ini apakah memang bisa mengimbangi sebuah proses kreatif dari olah kata, olah rasa, dan olah pikir yang dilakukan seorang penulis manusia.
Saya hanya berpikir dari sisi lain tentang jebakan kelas menengah ini. Pada saat kebutuhan akan karya tulis meningkat, para penulis lokal atau domestik justru tidak siap mengantisipasi ini dengan pengembangan writerpreneurship. Dapat dibayangkan masuknya para penerbit, book packager asing, ataupun publishing service asing memanfaatkan pertumbuhan ekonomi ini. Para penulis kita pun kelak hanya menjadi subjek kecil dan sama sekali tidak menikmati euforia bertumbuh dan berkembangnya dunia literasi alias dunia tulis-menulis di negeri ini. Kasihan sekali. []
©2012 oleh Bambang Trim
Penulis menempati kasta menengah dalam piramida kemasyarakatan, memang agak sulit untuk diharapkan jika tidak ada pengembangan diri dan penumbuhan kreatifitas berkarya sejak dini. Meski sudah berkiprah di dunia penerbitan selama hampir 6 tahun, sebagai penyunting naskah buku-buku islami, imbalan keringat bulanan (baca: gaji) saya masih kurang dari 5 juta; belum terlihat sebagai profesi yang menjanjikan untuk menaikkan harkat-martabat secara materiil, ‘kan?
Namun, di sisi lain, para praktisi penerbitan mendapat manfaat tak ternilai harganya. Tak bisa diukur dengan materi pastinya. Dan bukan pahala maksudnya. Ya, yaitu kepuasan batin; walau sifatnya subjektif, dan mungkin ada di semua profesi. Puas dalam arti otak selalu diisi dengan pengetahuan dan wawasan dari kegiatan membaca, meneliti, menulis, dan menyunting secara konstan. Pusing tidak keruan melanda, bahkan setruman-setruman kecil dari leher ke ubun-ubun sudah menjadi langganan. Tapi justru di sinilah letak kenikmatannya. Bukankah ada yang bilang, otak manusia yang termahal itu yang paling banyak kerutannya?
Masalah utama bagi saya adalah menemukan jalan menulis, menikmatinya dengan passion tinggi, hingga dapat memunculkan metode, strategi, serta teknologi untuk membantu orang agar juga bisa menulis. Seakan belum cukup termotivasi dengan kata-kata:
“Kalau ingin menjadi penulis, teruslah menulis.”
Juga kalimat indah dari Khalifah Ali bin Abu Thalib:
“Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.”
Profesi menulis memang masih menjadi salah satu profesi yang belum bisa dibanggakan oleh banyak kalangan. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari pola berpikir lama yang sudah terlanjur tertanam secara turun menurun dalam benak penulis kita. Apalagi masih banyak penulis pemula yang mempunyai idealisme tinggi namun sempit. Dikiranya menulis hanya sekedar melemparkan ide dan gagasan yang ada dipikirannya saja, padahal menulis juga dituntut kemampuan untuk bisa membaca pasar.
Saya melihat kebanyakan para penulis kita masih menggunakan cara-cara tradisional dalam menulis. Penulis tradisional tentu berbeda dengan penulis modern. Penulis tradisional masih menggunakan cara atau pola lama dalam menulis, termasuk cara mereka berpikir dan menggunakan teknologi. Padahal, menjadi seorang penulis itu harus kreatif, inovatif serta mempunyai nyali dan rasa percaya diri yang tinggi dalam menjual kemampuannya dalam menulis, bukan hanya sekedar mampu merangkai kata-kata.
Menjadi penulis ternama atau punya nama besar dan sukses secara materi memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Dulu ketika saya belum pernah menerbitkan karya sendiri, rasanya begitu kagum ketika melihat buku-buku yang ada di toko buku, apalagi jika melihat buku-buku laris (best seller). Saya sempat berpikir, hebat sekali penulis tersebut. Saya beranggapan rasanya tidak mampu seperti mereka. Menulis Saya anggap sebagai pekerjaan sulit dan harus betul-betul ahli.
Anggapan tersebut ternyata keliru setelah saya bertemu dengan seorang penulis yang cukup berpengalaman. Saya banyak belajar dari rekan tersebut yang berhasil membuka cakrawala saya tentang dunia menulis dan penerbitan. Dia mengatakan bahwa semua itu ada rahasianya, ada metode, ada tip dan triknyanya agar tulisan kita bisa diterbitkan dan laku dipasaran. Rekan saya juga menceritakan bagaimana cara penulis menjual diri (“Memasarkan dirinya”) agar tulisannya bukan saja bisa terbit namun juga laku dipasar. Jadi, menjadi penulis bukan sekedar menulis, tapi mau memasarkan karyanya sekaligus memasarkan dirinya.
Alhamdulillah, dengan ilmu yang diberikan teman saya, beberapa karya buku saya mulai terbit satu persatu. Bahkan beberapa diantaranya ada yang best seller. Bahkan saya juga pernah mendapat bayaran menulis (menjadi ghost writer) dari salah seorang mantan pejabat tinggi dengan bayaran yang cukup fantastis, setidaknya menurut ukuran saya sendiri. Saat itu Saya mendapat bayaran sebesar Rp.6 juta perbulan untuk menulis sekitar 60 halaman. Job tersebut saya dapatkan selama 7 bulan berturut-turut. Tentu saja honor tersebut jauh lebih besar dari uang muka royalti sebuah buku setebal 150 halaman yang hanya sekitar Rp.1,5 juta – Rp.2 juta.
Menurut Saya penulis bisa makmur dan kaya raya asal mau mengubah cara kerjanya, mau mengikuti perkembangan zaman, selalu mengikuti pasa dan mau terus belajar apa saja dan kepada siapa saja sepanjang waktu. Saya sendiri termasuk penulis yang masih tahap belajar dan suka mempelajari perjalanan hidup penulis sukses seperti Pak Bambang Trim, Pak Hernowo dan penulis-penulis sukses Indonesia lainnya.
Salam sukses untuk penulis Indonesia