Kepala LIPI, Iskandar Zulkarnain, menyebutkan bahwa jumlah peneliti di Indonesia kini minim sekali, hanya 34 orang per satu juta penduduk. Jumlah itu jauh dari ideal, bahkan 1.000 peneliti per satu juta penduduk juga masih belum ideal. Perbandingannya sangat kontras jika dilihat dari negara maju. Di Amerika dan negara Eropa yang relatif maju, ada sekitar 3.000—4.000 peneliti per satu juta penduduk.
BambangTrim.com | Kalau jumlah peneliti sedemikian sedikitnya, bagaimana dengan jumlah buku yang diterbitkan oleh peneliti? Saya meyakini lebih sedikit lagi karena banyak sekali hasil-hasil penelitian hanya berhenti pada makalah atau artikel di jurnal. Itu pun masih mending, bahkan banyak penelitian yang berhenti hanya sampai pada laporan hasil penelitian.
Belum lagi kalau kita menyelisik karya kesarjanaan yang notabene juga disusun atas dasar penelitian. Berapa banyak skripsi, tesis, dan disertasi yang hanya “mati” sebagai karya tulis demi kelulusan?
Karena itu, penting bagi para dosen/peneliti membukukan karya hasil penelitiannya ke dalam buku. Mengapa buku? Karena buku menjangkau khalayak pembaca lebih luas dan dapat bertahan lama, bahkan mudah sekali saat ini dikonversi menjadi buku digital sehingga makin meluaskan jangkauan publikasi.
Masalahnya memang tidak semua peneliti atau akademisi memiliki kemampuan menyadur atau mengonversi karya tulis ilmiah (KTI) nonbuku menjadi buku. Pengalaman memberikan pelatihan di LIPI dan beberapa universitas serta lembaga litbang, menunjukkan kelemahan ini. Walaupun begitu, harus diakui bahwa banyak sekali hasil penelitian yang memang layak untuk dibukukan.
Kata “sayang” alih-alih menyebut sebuah kerugian memang pantas disematkan pada karya-karya penelitian unggul yang tidak dipublikasikan ke dalam buku. Saya kira tepatlah apa yang dilakukan Kementerian Riset dan Dikti dengan mengalokasikan dana untuk peningkatan keterampilan mengonversi KTI nonbuku menjadi buku bagi para peneliti dan akademisi, sekaligus menyiapkan dana untuk publikasinya menjadi buku.
Saat ini Dikti melalui Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat sudah memiliki program insentif buku ajar untuk para dosen/peneliti dan hibah buku teks. Para dosen yang mengajukan buku ajar dan dinyatakan lolos akan mendapatkan bantuan dana Rp17.500.000,00 (dipotong pajak 15%). Adapun untuk buku teks disediakan dana hibah sebesar Rp22.000.000,00 (dipotong pajak 15%).
Program tersebut paling tidak akan mendorong dosen/peneliti untuk berkarya lewat buku. Khusus untuk buku teks, Dikti memberikan kesempatan pendampingan bagi para dosen/peneliti melalui lokakarya tentang penulisan buku teks.
Satu hal yang mengganjal, banyak para dosen/peneliti sendiri tidak dapat membedakan apa itu buku ajar dan apa itu buku teks. Keduanya mengandung pengertian yang mirip meskipun sejatinya berbeda dari sisi konten. Di luar itu, pemahaman tentang anatomi buku dan teknik penyajian buku juga masih lemah sehingga harapan untuk mendapatkan karya-karya buku bermutu juga belum terpenuhi.
Karena itu, dalam berbagai kesempatan, saya memberikan pelatihan dan pendampingan penulisan buku ajar ataupun buku teks (ilmiah populer) untuk para dosen dan peneliti, di antaranya di LIPI Press dan IAARD Press (Balitbangtan). Banyak peserta yang kemudian merasakan bahwa selama ini mereka hanya tidak tahu cara menulis buku, padahal materi yang mereka miliki layak dibukukan.
Metode prewriting-drafting-revising-editing-publishing menjadi sangat berarti untuk membuat dosen/peneliti mau dan mampu menerbitkan buku ilmiah populer, dalam hal ini yang diistilahkan sebagai buku teks. Tahun 2015, saya telah mengisi empat pelatihan dengan topik tersebut dan sebagai penutup tahun 2015 saya direncanakan mengisi di Pusdiklat Sumber Daya Air, Kementerian PUPR dan UMM Press.
Berminat menyelenggarakan PELATIHAN PENULISAN BUKU ILMIAH: KONVERSI HASIL PENELITIAN MENJADI BUKU? Silakan unduh proposal berikut ini.