Pelajaran Menulis tentang Sudut Pandang

Angle (bukan angel) atau sudut pandang menjadi satu bagian tersulit bagi penulis yang hendak memulai karangannya. Apalagi bagi penulis jasa yang harus klop memainkan sudut pandang dengan kemauan klien penulisan. Itu sebabnya wilayah “sudut pandang” kadang tidak serta merta dapat dilakukan secara kerja tim. Wilayah ini sering menjadi wilayah “otonomi khusus” sang penulis yang mendapatkan ilham dari pengalaman serta keterampilannya.

Saya baru saja menyelesaikan naskah bertajuk The Golden Chance. Naskah awal dibuat dengan judul Second Chance. Naskah ini merupakan semibiografi dari seorang pengusaha Jepang. Ia merupakan pribadi yang masih memegang teguh tradisi luhur bangsa Jepang soal hubungan antarmanusia.

Nah, Second Chance awalnya berpijak dari sudut pandang keunikan sang pengusaha yang selalu memberi kesempatan kedua kepada orang-orang yang berbuat salah. Ia selalu memaafkan dan selalu memberi tempat untuk memperbaiki kesalahan. Awalnya, berpijak dari situlah saya menulis.

Namun, undangan dan kunjungan ke Jepang dari sang pengusaha membuat persfektif saya menulis menjadi berubah. Itulah pentingnya menulis tentang seseorang harus bertemu dengan orang itu langsung meskipun hanya bilangan jam. Saya pun dari enam hari kunjungan, hanya dua hari sempat bertemu dan mengalibrasi sang pengusaha.

Saya mengubah sudut pandang dari Second Chance menjadi Golden Chance bahwa ada kesempatan-kesempatan kecil yang menjadi jalan untuk lahirnya kesempatan emas, termasuk kesempatan kedua tadi. Jadi, sudut pandang diperluas sehingga saya dapat membagi buku pada tiga bagian besar, yaitu First Chance, Second Chance, dan The Golden Chance. Dari situ kemudian saya menyelesaikan naskah yang awal Agustus rampung 90%.

Klien memang takkan pernah bisa membayangkan secara utuh naskah atau pikiran-pikiran yang hendak disampaikannya sampai sebuah naskah bisa membingkai pikiran itu sebanyak 70% hingga 90%. Karena itu, wajar jika persfektif klien pun bisa jadi berubah ketika naskah sudah memiliki bentuk. Saya pun sebagai penulis selalu bersiap untuk itu.

Cover The Golden Chance 150806_Page_1

Tali Jiwa Maruku Osameru

Ketika bertemu dengan penggagas proyek buku ini, saya pun menerima pesan dari sang pengusaha bahwa buku diposisikan sebagai pemberi pesan tentang kebajikan untuk generasi muda. Jadi, tidak terlalu mengekspose soal kesuksesan bisnis secara pribadi. Artinya, sang pengusaha lebih ingin sudut pandang diubah pada pendekatan yang lebih humanis, bukan sekadar penonjolan diri seperti success story.

Ini buku tentang pelajaran hidup, adapun kisah sang pengusaha yang menjadi latar belakang hanya sebagai penghias. Alhasil, sudut pandang akan berubah untuk kali ketiga.

Apa yang saya lakukan kali pertama adalah mengubah judul dan juga mengubah outline. Namun, untungnya tidak akan mengubah struktur tulisan secara radikal. Hanya diperlukan penulisan ulang pada beberapa bagian, termasuk pengantar dan prolog, serta editing dan penyesuaian judul-judul bab serta subbab. Ada juga bagian yang saya tambahkan.

Dari semula berjudul The Golden Chance naskah pun berubah menjadi Tali Jiwa Yasuo Furukawa. Kata “Tali Jiwa” saya comot dari ingatan tentang majalah Gatra edisi khusus yang menampilkan topik Tali Jiwa Nusantara. Frasa itu juga andal karena mengandung rima “wa” dan bukan sekadar kebetulan bahwa bangsa Jepang sangat menjunjung “wa”. Unsur “wa” selalu terdapat pada umumnya nama orang Jepang.

Wa bermakna bergaul dengan orang lain tanpa konflik, dapat bekerja sama dan saling menghargai. Menjunjung Wa menghasilkan pribadi yang disebut maruku osameru.

Saya memandang Yasuo Furukawa adalah seorang maruku osameru yang dalam bahasa Jepang bermakna sebagai orang yang masuk dalam sebuah (lingkaran) hubungan dan membina hubungan baik. Furukawa memang orang yang membina hubungan baik dan menyenangkan semua orang. Karena itu, Furukawa menjalankan satu ikatan dan kata “ikatan” sangat berhubungan dengan “tali”.

Lalu, saya pun menyusun kalimat topik begini: Kisah perjuangan seorang pengusaha Jepang yang memilin tali jiwa kehidupannya dengan hati nurani. Ya, hati nurani saya tempatkan sebagai tali jiwa seseorang yang berpilin pada tiap peristiwa. Apabila semua diikat dengan hati nurani, timbullah kedamaian di muka bumi ini. Hal itulah yang dilakukan seorang Yasuo Furukawa sebagai subjek sekaligus objek buku ini.

Judul Tali Jiwa tentu tidak akan saya peroleh tanpa mengambil pengalaman membaca saya, termasuk membaca buku wakil dubes Jepang, Yusuke Shindo berjudul Mengenal Jepang. Buku itu membantu saya menggumpalkan pandangan tentang Jepang dan orang-orang Jepang secara singkat. Selain itu, saya juga membaca buku bisnis The Toyota Way: 14 Prinsip Bisnis dari Perusahaan Manufaktur Terhebat di Dunia karya Jeffrey K. Likker.

***

Hari Ahad, 9/8 ini saya sudah mulai mengubah naskah dan membuat sudut pandang baru. Semoga kali ini pas dan klop dengan pikiran klien saya. Insya Allah buku pun akan terbit dan meluncur pada September 2015.

©2015 oleh Bambang Trim

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *