Pagar Betis Menulis Kebencian

Bambangtrim.com | Dampak media sosial pada masa Pilpres lalu sangat terasa menciptakan keterbelahan dalam masyarakat Indonesia. Media sosial dan media internet lainnya beberapa memang digunakan untuk menyebarkan tulisan bernada kebencian kepada pihak lain. Namun, sejatinya tak hanya dalam momentum pilpres, menulis kebencian juga bisa terkondisikan pada banyak orang yang memang berniat menciptakan permusuhan, baik disengaja maupun “tidak disengaja” kepada satu orang tertentu, kelompok masyarakat tertentu, atau kepada institusi tertentu.

Saya ingin menanggapi satu peristiwa penting dalam jagat menulis, khususnya di media internet, tentang terbitnya Surat Edaran (SE) Kapolri soal Ujaran Kebencian. Polri telah menyiapkan “pagar betis” alias pengawasan yang ketat terhadap aktivitas menulis di internet berdasarkan surat edaran tersebut.

Mungkin boleh juga membaca tulisan saya sebelumnya, beberapa bulan sebelum keluarnya SE Kapolri ini.

http://manistebu.com/2015/07/25/kejahatan-tulisan/

Alasan Kapolri, Badrodin Haiti, mengeluarkan surat edaran bernomor SE/06/X/2015 soal Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) pada 8 Oktober 2015 itu adalah melindungi anggota Polri untuk menindak para penyebar kebencian lewat media sosial.

SE Kapolri didasarkan pada UU yang sudah diberlakukan lebih dahulu dengan ancaman pidana sehingga diharapkan para anggota Polri tidak ragu lagi menindak mereka yang  melakukan penyebaran kebencian via internet, baik dilaporkan maupun tidak karena pendekatannya bisa menggunakan delik murni dan delik aduan. Dasar hukumnya adalah

  • KUHP,
  • UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
  • UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,
  • UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan
  • Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.

Tentu berkecamuknya “perang” opini di media internet yang kadang dipicu oleh satu atau dua orang yang menyebarkan tulisan-tulisan bernada kebencian terkadang tak pelak membuat gusar para netizen yang menjauhkan diri dari hiruk pikuk perdebatan tak berujung. Tidak ada yang merasa harus melaporkan meski terganggu dan akhirnya hiruk pikuk itu pun hilang dengan sendirinya. Namun, jika kondisi ini dibiarkan, media sosial makin tidak sehat disisipi orang-orang yang terus memancing emosi negatif. Karena itu, dengan SE Kapolri, sesuatu yang dianggap berbahaya dan berkembang bakal ditindak segera.

Artinya, polisi sudah mulai intens memantau arus informasi tertulis di internet dan menguatkan aksi pelacakannya. Seperti dilansir oleh berita bahwa Polri juga menggandeng Kemkominfo untuk melakukan pelacakan. Ya, jangankan Polri, seorang Deddy Corbuizer saja bisa melacak pemuda yang mem-bully-nya di Instagram.

Mencermati Antara Kritik dan Ujaran Kebencian

Beberapa kasus kejahatan internet kerap mengundang ahli bahasa untuk menetapkan apakah bahasa yang digunakan memang mengandung unsur-unsur yang dipidanakan. Dalam SE Kapolri terpapar jelas bahwa lingkup ujaran kebencian yang ditujukan kepada individu atau kelompok masyarakat dibedakan pada

  1. Suku,
  2. Agama,
  3. Aliran keagamaan,
  4. Keyakinan atau kepercayaan,
  5. Ras,
  6. Antargolongan,
  7. Warna kulit,
  8. Etnis,
  9. Gender,
  10. Kaum difabel,
  11. Orientasi seksual.

Kapolri menegaskan bahwa SE tersebut tidak bermaksud membungkam kebebasan menyuarakan kritik. Alhasil, pelontar ujaran harus bisa membedakan mana kritik dan mana ujaran kebencian. Paling gamblang adalah pilihan kata yang digunakan pada kritik dan ujaran kebencian. Ada kata atau frasa yang bakal tersorot dan perlu perhatian kita saat menulisnya, seperti bodoh, goblok, lonte, pelacur, autis, germo, penjahat, maniak, tak punya otak, biang kerok, jika ditujukan kepada seseorang atau kelompok masyarakat tertentu.

Dalam bahasa Pak Anies Baswedan kata-kata itu bisa disebut mengganggu atau merusakkan “keadaban publik”. Memaki-maki di media sosial bakal menjadi satu kebiasaan baru yang memang membuat sebagian besar orang risih, tetapi tidak terlalu berani menegur karena dia juga bakal diserang kembali dengan kata-kata yang lebih berbahaya.

Lebih Baik Menahan Diri dan Menghindarkan Diri

Saya kurang tahu secara jelas apakah ujaran seperti menyebut Presiden Jokowi dengan sebutan “si cungkring” seperti yang pernah saya baca di media sosial adalah masuk ranah ujaran kebencian? Ujaran kebencian yang dimaksudkan dalam SE Kapolri adalah dalam kategori hinaan, fitnah, dan berita bohong (hoax) yang berpotensi menimbulkan masalah. Tentu jika kita melibatkan diri dengan membuat definisi-definisi pada konteks ujaran kebencian secara pribadi, bukan tidak mungkin kita malah terjebak sendiri, apalagi jika sudah melibatkan opini ahli bahasa.

Bagi saya, cara terbaik untuk menulis dan tetap memegang teguh etika kepenulisan adalah menahan diri atau lebih ekstrem menghindarkan diri dari penulisan-penulisan yang mengandung konten emosi negatif seperti itu, termasuk yang menyerang pribadi atau individu tertentu. Lebih baik daripada kemudian mencoba berkelit dengan definisi “tak jelas” soal ujaran kebencian adalah menghindarkan menulis tudingan langsung kepada individu, pihak tertentu, atau kelompok masyarakat yang mengandung “sesuatu tidak mengenakkan”.

Kritik itu selalu tidak mengenakkan, tetapi lebih tidak mengenakkan lagi kritik tanpa dasar yang disertai dengan ungkapan-ungkapan kebencian. Saya kira para penulis yang sudah bertahun-tahun mengasah pikiran dan perasaannya sangat mampu mengenali mana tulisan yang bisa berubah menjadi setajam silet. Bahan bakunya adalah kata-kata yang disempurnakan dengan teknik tertentu.

Saya pernah katakan dalam pelatihan menulis apabila yang membuat berita bohong (hoax) itu adalah seorang penulis yang terlatih, tentu ceritanya jadi lain. Hoax itu bakal bisa tersebar dengan sangat cepat dan meyakinkan. “Sayangnya” (dalam tanda petik ganda), pembuat hoax sebagian besar adalah penulis amatiran. Namun, tetap saja orang yang literasi medianya rendah bisa terkecoh.

Karena itu, saya kira Polri memang tidak mau ambil risiko lebih jauh apakah yang menulis ujaran kebencian itu adalah seorang penulis terlatih ataupun tidak. Efeknya tetap sama-sama dahsyat, menghancurkan, di tengah masyarakat kita yang sangat besar menggunakan media internet dan media sosial, tetapi literasi medianya justru rendah.

Ya, semoga kita tetap bisa menahan diri kini atau lebih baik menghindarkan diri dari menulis ujaran kebencian. Lebih baik menulis benci, tapi rindu. 🙂

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *