Wawancara bagi saya adalah proses kalibrasi dengan tokoh yang hendak ditulis. Yang kali pertama saya tandai tentu aspek visual, seperti penampilan sang tokoh, senyumnya, ekspresi berpikirnya, dan juga gerak-geriknya. Kedua, adalah nada suaranya. Kadang nada ini akan saya ingat betul ketika masuk pada proses penulisan. Dan ketiga saya berusaha masuk atau melarut dalam suasana wawancara itu sendiri.
Dalam pengalaman saya mewawancarai narasumber, tidak jarang saya diwanti-wanti terlebih dahulu tentang karakter sang narasumber oleh penghubung saya. Saya pernah mengalami direspons dengan nada tinggi dari seorang narasumber mantan tentara GAM ketika saya menanyai pandangannya tentang suatu hal. Ya, meskipun sudah berhati-hati membuat daftar pertanyaan, tidak jarang pertanyaan justru berkembang dan menggelitik kita untuk mengonfirmasi hal di luar daftar. Karena itu, bisa jadi narasumber beraksi dengan pertanyaan kita yang menurutnya kurang etis.
Ahad, pagi ini di Kyoto, saya juga larut menyiapkan poin-poin wawancara untuk besok. Seorang pengusaha Jepang di bidang industri onderdil otomotif (mobil) menjadi target narasumber. Saya sudah memulai penulisan naskah awal sepanjang 110 halaman selama lebih kurang dua bulan. Targetnya adalah 200 halaman.
Nah, saat ini adalah satu wawancara terjauh yang saya lakukan untuk penulisan buku, tepatnya ke Shiga, bagian barat Jepang yang dekat dengan Kyoto. Saya menyelipkan perjalanan ini juga sambil mengisi liburan putri saya, Valya, yang memang sangat ingin sekali melihat Jepang. Sambil ada tugas wawancara, saya pun membawa Valya mengenali kehidupan bangsa lain dan suasana kota modern di Osaka dan Kyoto sembari naik turun kereta dan bus yang nyaman.
Topik perjalanan bisnis pengusaha yang hendak saya tulis itu termasuk menarik karena sang pengusaha telah 40 tahun mendalami bisnis onderdil dan fokus pada salah satu onderdil yaitu cylinder head mobil, termasuk untuk mobil Daihatsu Copen yang merupakan mobil premium. Isu tentang recall mobil, tentu sangat berkait erat dengan industri ini karena dari hari ke hari diperlukan inovasi demi menyesuaikan onderdil dengan model mobil yang akan dikeluarkan.
Contohnya, ketika Daihatsu Ayla atau Toyota Agya hendak dikeluarkan, para pengusaha onderdil dikumpulkan dan diminta mengembangkan komponen yang sesuai—yaitu murah, tetapi tetap berkualitas agar mampu mengejar harga yang ditetapkan. Para pengusaha tersebut pun harus berkreasi atau berinovasi membuat komponen-komponennya.
Satu yang unik dan baik di Jepang bahwa industri raksasanya didukung sepenuhnya oleh UKM. Industri raksasa tidak “rakus” untuk menjalankan bisnis dari hulu ke hilir. Pembuatan komponen-komponen (onderdil) diserahkan kepada industri-industri kecil atau menengah sehingga mereka tumbuh bersama. Latar belakang ini termasuk yang menarik untuk ditulis dan saya kembangkan dalam wawancara.
Ribuan komponen mobil justru menjadi tidak ekonomis dan memakan biaya besar jika dikerjakan semua oleh pabrikan mobil. Hal serupa juga terjadi pada industri elektronik. Pemilik merek besar berfokus pada riset, pengembangan produk dan kontrol kualitas. Kegiatan manufaktur komponen-komponen diserahkan ke perusahaan lain.