Menulis itu (Tidak) Sederhana

Bambangtrim.com | Bahagia itu sederhana. Itulah ungkapan yang banyak menjadi meme dan tersebar di medsos. Demikian pula dengan status medsos banyak orang yang dimulai dengan kalimat pendek itu: Bahagia itu sederhana ….

Saya pernah berguyon: Bahagia itu sederhana …. Ketika makan siang disuguhi menu (restoran) Sederhana. He-he-he.

Lalu, apakah benar bahagia itu sederhana. Nah, saya tertarik membuka buku tebal yang tergolong buku laris karya Arvan Pradiansyah berjudul 7 Laws of Happiness. Menarik bahwa Mas Arvan itu memperingatkan adanya kesenangan yang menyamar sebagai kebahagiaan. Sebenarnya hanya seberkas kesenangan muncul pada kehidupan kita, tetapi kita menyebutnya kebahagiaan, padahal jalur keduanya berbeda.

Penasaran?  Baca saja bukunya. Pemasaran? Ya, ini salah satu bentuk pemasaran. 😀

Lebih jauh Prof. Daniel Freeman dan Jason Freeman menyebutkan bahwa para psikolog telah memiliki konsensus yang diakui secara luas sebagai komponen bahagia, yaitu 1) kenikmatan/kesenangan (pleasure); 2) makna (meaning); 3) keterlibatan diri (engagement). Duo Freeman itu lalu menambahkan lagi ada komponen keempat yaitu 4) lebih sedikit emosi negatif.

Kesimpulannya bahwa baik Mas Arvan maupun Duo Freeman itu tidak menyederhanakan kebahagiaan seperti membalikkan taplak meja. Kebahagiaan adalah sebuah proses dan proses itu harus diperjuangkan agar menghasilkan yang namanya kebahagiaan berdurasi panjang.

Dari bahagia maka saya beralih ke menulis yang juga selayaknya (seseorang) dapat menghasilkan tulisan bermutu karena sebuah proses. Tidak ada yang mudah dan sederhana dalam hal menulis. Masih teringat ketika saya menghadiri sebuah event diskusi penulisan-penerbitan yang digelar Yayasan Adikarya Ikapi, salah satu pembicara, Pak Bondan Winarno mengkritik tema diskusi tentang buku serius.

Menurutnya menulis buku itu saja sudah serius, bagaimana mungkin ada istilah buku tidak serius. Jadi, dikotomi buku serius dan buku tidak serius itu menurutnya keliru. Namun, pada zaman edan seperti sekarang ini, menulis buku dapat dilakukan dengan cara-cara yang tidak serius–copy paste, plagiat, ngumpulin bahan-bahan dari internet, dan seterusnya.

Saya jadi teringat juga dengan buku-buku seri terbitan luar seperti For Dummies dan For Idiots. Meskipun judul buku itu nyeleneh dan terkesan main-main, ternyata isinya sangat detail dan saya yakin membuatnya tidak main-main alias sangat serius (sekali).

Sumber Foto: Wikipedia
Sumber Foto: Wikipedia

Jadi, jika diminta melatihkan menulis secara sederhana, mungkin saya tidak mampu karena proses menulis itu sendiri sudah tidak sederhana–demi menghasilkan tulisan berkualitas. Namun, jika diminta memberi pelatihan menulis dengan menu makan siang dari restoran Sederhana, itu saya suka.

Tapi, tunggu dulu. Sederhana (simplicity) itu menurut Mas Arvan adalah salah satu hukum kebahagiaan. Artinya, orang yang tidak mampu menyederhanakan menulis seperti saya ini, pastilah kurang bahagia–jangan-jangan masa kecilnya juga. Di otaknya penuh kerumitan-kerumitan sampai Mbah Konfusius berkata:

Hidup ini benar-benar sederhana, tapi kita bersikeras untuk membuatnya rumit.

Saya insaf untuk hal ini meskipun Mas Arvan menjelaskan soal kesederhanaan itu dalam 37 halaman buku–keseluruhan buku Mas Arvan lebih dari 460 halaman. Tapi, ya itu bahwa yang serius dan berproses memang tidak harus dibuat rumit dan dapat disederhanakan.

Namun, tidak harus pula menulis itu disederhanakan sebagai sebuah kesenangan belaka. Kita harus membuatnya komplet dengan yang namanya kebermaknaan, keterlibatan, dan lebih sedikit emosi negatif agar tulisan yang dihasilkan benar-benar bermanfaat dan menimbulkan rasa bahagia.

Di medsos seperti Facebook, ada orang yang memang menulis untuk kesenangan belaka; ada yang menulis untuk menyisipkan makna; ada pula yang menulis agar ia eksis dan selalu update sebagai kebutuhannya melibatkan diri. Namun, ada yang alih-alih berbahagia menulis untuk meminggirkan emosi negatif, malah ia sengaja memancing emosi negatif ke dalam pikirannya sendiri atau ke dalam pikiran banyak orang. Jadi, menulis yang sederhana dapat terjebak pada menulis yang tidak komplet yang tentu tidak menentukan kebahagiaan.

Anda pasti bingung dengan penjelasan tulisan ini …. Saya juga …. Ha-ha-ha itu tandanya Anda serius membaca. Kesimpulan saya: Menulis itu sendiri tidak sederhana, tetapi proses kreatifnya dapat disederhanakan dengan kecerdasan dan kecergasan kita. Karena itu, kapasitas kita untuk menulis (sama halnya dengan berbahagia) haruslah ditingkatkan.


Berminat mengikuti pelatihan menulis dengan proses cerdas dan cergas serta membahagiakan? Jangan lewatkan pelatihannya pada 18-19/11 di Jakarta dan 8-9/12 di Bandung.

flyer-pelatihan-nov-des

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *