Bambangtrim.com | Ahad, 29 April 2018 sebenarnya tidak ada rencana ke kawasan Ciumbuleuit, Bandung. Namun, “nyonya” saya bilang coba ke Rabbit Town. Itu destinasi wisata yang katanya sedang happening.
Karena dekat, saya mengiyakan wisata tidak direncanakan itu. Lalu, saya pun mulai googling tentang tempat wisata yang dibangun oleh Kagum Group ini. Dari Jalan Padjadjaran ke atas Ciumbuleuit sekira 30 menit lebih.
Di Google, informasi tentang tempat wisata ini dari berbagai situs memang memberi kesan menarik dan wajib dikunjungi meskipun ada embel-embel plagiat. Salah satunya nomor 1 di Google informasi dari IDNTimes.com berjudul “7 Fakta Unik tentang Rabbit Town Bandung yang Dianggap Plagiat”. Judul ini ambigu, tetapi isinya memang puja-puji terhadap tempat wisata ini.
Benar saja saat sampai di Jalan Ranca Bentang, mobil-mobil sudah mengantre parkir. Maklum hari itu juga hari libur. Ada juga orang dan mobil yang sudah keluar. Saya lihat wajah-wajah mereka tanpa ekspresi yang berlebihan layaknya orang yang habis berwisata.
Saya dan “nyonya” ya penasaran saja karena katanya tempat ini–yang diresmikan Gubernur Jabar–instagramable dan murah pula tiket masuknya. Benarlah tiket masuknya per orang Rp25.000,00, bahkan kita dipersilakan pula memiliki kartu yang dapat diisi ulang untuk pembelian makanan dan lain-lain.
Pertama masuk, “nyonya” meminta saya untuk berfoto di depan ucapan selamat datang berbahasa Inggris. Entah mengapa menggunakan bahasa Inggris, padahal sebagian besar pengunjung adalah turis lokal. Mungkin biar terkesan internasional.
Oh ya, saya lupa parkir mobil sebenarnya tersedia di area basement di bawah bangunan yang belum jadi, tetapi banyak orang juga memilih parkir di luar area. Saat hendak naik lewat tangga, ada ABG-ABG berfoto di bangunan yang belum jadi itu. Mungkin mereka kira ini lebih instagramable daripada foto-foto di kawasan Rabbit Town.
Jadi, di dalam baru saya sadari bahwa ini adalah sebuah rumah yang disulap menjadi tempat wisata. Pengunjung diarahkan ke berbagai tempat. Ada yang naik tangga ke atas dan ada pula yang ke bawah. Pengunjung harus melewati gang-gang yang menurut saya agak sempit, apalagi tiap “tempat” selalu ada gerai jualan.
Ternyata oh ternyata, kita tidak dapat “sembarangan” masuk ke berbagai ruangan, seperti LA Store, Museum of Ice Cream, Love Lock, atau Hollywood Land tanpa membayar lagi. Jadi, untuk masuk memang murah Rp25.000, sedangkan untuk menikmati tempat lain dan “futu-futu” ya harus membayar lagi mulai Rp10.000 per orang.
Ada sih tempat yang tidak berbayar seperti akuarium besar yang ada ikan-ikan arwananya dan Love Light yang merupakan area berdirinya tiang-tiang lampu (konon ini dicap plagiat dari Urban Light di Los Angeles). Di area ini berfoto ya gratis.
Ada lagi area yang seharusnya menjadi ikon yaitu Rabbit Villa–tempat para kelinci berada di kandangnya dan ada juga yang dilepas. Namun, tempatnya sempit sekali bagi anak-anak dan orangtua memberi makan kelinci karena juga disesaki kandang kelinci.
Masuk juga harus bayar lagi bagi anak-anak (Rp20.000) dan mendapat dua buah wortel. Kelinci-kelincinya pada stres dikejar anak-anak dan dipaksa makan. Mereka dijadikan ikon nama tempat wisata ini, tetapi ya sekadar ikon.
Kesan saya, tempat wisata ini terlalu banyak diselipi dengan tempat jualan makanan maupun pernak-pernik dengan area yang terbatas. Bahkan, pengunjung memang jalannya diarahkan melewati beberapa toko pernak-pernik dan makanan. Artinya, antara luas area dan “penjejalan” tempat jualan ini tidak sebanding sehingga membuat kurang nyaman.
Saya membandingkan dengan tempat wisata lain seperti D’Ranch. Tiket masuk sangat murah dan di dalam pengunjung memang harus membayar lagi beberapa wahana permainan. Namun, luasnya area dan kepuasan yang diperoleh dari permainan cukup sebanding.
Semestinya manajemen menyediakan saja tiket terusan agar pengunjung tidak merasa kaget ternyata untuk menikmati banyak fasilitas di dalam harus membayar–apalagi hanya dapat berfoto, bukan sebuah permainan atau pertunjukan. Soalnya sudah turun-naik tangga ternyata harus bayar lagi meskipun ada fasilitas untuk top-up rupiah di dalam kartu.
Saya dan keluarga memang sudah tidak berniat mencicipi makanan dan minuman di situ–takut harganya mengagetkan. Jadi, memang tidak dapat berkomentar soal rasa dan harga. Sejam lebih kami menikmati suasana di Rabbit Town, lalu pulang dengan hanya secuil ekspresi. Anak-anak saya rasa juga tidak terlalu menikmati.
Apakah saya akan berkunjung kembali ke sana seperti saya lakukan pada beberapa tempat wisata lain di Bandung? Sepertinya tidak sebelum ada perubahan yang berarti dan ada rasa rindu untuk kembali.[]