Kamis pagi, 6 Agustus, pukul 10.00 terasa agak melambat di Gedung Ikapi. Saya tiba pukul 10.15 menumpang bajaj dari Gambir menuju Kalipasir. Rapat tidak biasa sudah dijadwalkan. Sudah ada Linda Christanty dan AS Laksana berikut Sekjen Ikapi, Husni Syawie. Kedatangan saya bersamaan dengan Mas Hernowo. Lalu, bergabung juga Ketua Ikapi Pusat, Lucya Andam Dewi.
Seyogianya ada deretan penulis lain yang diundang, seperti Dewi Dee, A. Fuadi, Raditya Dika, dan Pidi Baiq. Namun, keempatnya berhalangan hadir. Rapat tetap berlanjut untuk satu tujuan.
Rapat yang lebih pas disebut diskusi bebas ini sebenarnya membicarakan topik “yang tidak menarik”. Topik yang telah berkali-kali dibahas, terutama oleh Ikapi. Topik yang buat sebagian besar orang pesimistis di negeri ini. Ya topik soal minat baca.
Syukurlah di antara tamu yang salah satunya menjadi penggerak diskusi, ada Hernowo. Beliau memang layak diposisikan sebagai orang yang punya perhatian dan energi berlebih untuk soal minat baca. Jadi, klop dengan rencana Ikapi yang hendak melahirkan sebuah buku tentang minat baca untuk “menarik perhatian” di tengah arus tidak populer soal membaca (buku).
Hernowo yang bakal menjadi editor buku punya tanggung jawab berat. Buku yang dihasilkan dengan pembaca sasaran kawula muda ini harus menarik dan jangan menjadi lelucon: buku tentang minat baca yang tidak menarik untuk dibaca. Buku ini harus dibuat sekreatif mungkin. Karena itu, harus melibatkan penulis-penulis andal yang menjadi ikon remaja sebagai kontributor.
Ide Menciptakan Karakter yang Membaca
AS Laksana yang akrab dengan panggilan Mas Sula ini membuka diskusi dengan ilustrasi yang terjadi di negara Jepang. Jepang bukan negara sepak bola, tetapi negara ini punya ambisi menjadi salah satu kekuatan sepak bola dunia, minimal sebagai wakil Asia. Karena itu, para ahli dikumpulkan untuk mengonstruksi sebuah program yang membuat sepak bola mengakar di Jepang. Singkat cerita dibuatlah salah satu program yang memunculkan karakter Kapten Tsubasa lewat produk komik dan juga film animasi.
Fenomena Jepang ini memunculkan pula ide untuk membuat “karakter” dalam menyampaikan pesan minat baca. Kesimpulannya salah satu strategi menarik minat baca secara menarik adalah memunculkan satu ikon atau karakter yang juga lazim dilakukan oleh negara-negara lain untuk menggagas sebuah budaya, apalagi budaya pop.
Ide menerbitkan buku tentang minat baca ini juga tidak terlepas dari kondisi industri perbukuan di Indonesia yang tampak melambat (seperti juga ekonomi Indonesia), bahkan bukan tidak mungkin melambat dan mengencang menuju keruntuhan. Salah satu biang kerok yang ditengarai adalah minat baca walaupun di luar itu masih banyak lagi persoalan lain.
Betul, Indonesia kini menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015 yang bergengsi itu. Betul bahwa momentum menjadi tamu kehormatan bisa dimanfaatkan sebagai kebangkitan industri buku nasional. Namun, kalangan industri tidak bisa berharap banyak bahwa setelah Frankfurt terdapat keberlanjutan semangat menyelamatkan produksi literasi di negeri ini.
Bukan merupakan rahasia, kerja literasi yang menghasilkan produk baca berupa buku seperti berjalan sendiri-sendiri. Hanya ada asosiasi penerbit resmi di Indonesia yaitu Ikapi. Namun, jangan ditanya apa ada asosiasi penulis, asosiasi editor, atau asosiasi ilustrator di negeri ini yang bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah membicarakan produk literasi bermutu. Bahkan, sikap para penulis untuk menerbitkan buku sendiri dengan jalan self-publishing juga belum tentu mampu bersatu membentuk asosiasi penerbit independen di Indonesia. Alhasil, sulit menghimpun energi untuk menarik perhatian.
Bukan Buku tentang Minat Baca
“Buku anak yang menarik dan layak baca adalah buku yang juga bisa dinikmati oleh orang dewasa,” itu pemikiran Husni Syawie dalam aktivitasnya bergiat di penerbit. Sinyalemen tersebut ada benarnya karena di negeri ini memang sulit menemukan buku anak yang juga membuat orang dewasa gemar membacanya. Artinya, kontennya mengandung pesan-pesan universal untuk segala usia meskipun pembaca sasarannya adalah anak-anak.
Kita di Indonesia memang menghadapi segudang persoalan buku, apalagi menyebut buku anak-anak. Meskipun ada beberapa penilaian dan penghargaan untuk buku anak-anak, kegiatan tersebut tidak mampu mendorong munculnya “karakter-karakter” yang mengakar di benak anak-anak Indonesia. Kita lebih menerima karakter impor, seperti Upin Ipin, Masha, Angry Bird, Anna dan Elsa (Frozen), serta banyak lagi. Alhasil, buku apa yang sebenarnya perlu diterbitkan?
Semua bersepakat bukan buku tentang minat baca yang berisikan nasihat-nasihat pentingnya membaca harus diterbitkan. Buku yang dirancang adalah buku dengan penggambaran karakter (sang tokoh) sebagai ikon yang mendapat daya mempertahankan hidup dengan membaca. Lebih gamblang, menurut Linda, karakter ini menjadi keren karena membaca.
***
Di ujung diskusi, datanglah Hamid Basyaib yang kelimpungan mencari alamat Gedung Ikapi. Tokoh yang dikenal sebagai penerjemah andal sekaligus pemikir dan juga penulis ini langsung bersetuju dengan konsep penyusunan buku yang mendorong minat baca. Namun, beliau tetap mendorong terbitnya buku nonfiksi berupa kumpulan esai kreatif, bukan hanya fiksi.
“Sastra adalah menyampaikan hal lama dengan cara baru …,” demikian ungkap Pak Hamid. Karena itu, sebuah topik seperti minat baca harus dihampiri dengan berbagai jalan, termasuk nonfiksi.
Ia mengenang dua puluh tahun lalu, ada kerisauan bahwa anak-anak (masa itu) getol membaca superhero asing. Risaulah kaum cerdik cendekia di Indonesia sehingga diadakan seminar di UI yang hendak menciptakan tokoh pahlawan versi Indonesia. Semua sudah serius dan menjadi riuh di dalam hati ketika yang disodorkan karakter itu bernama “Pahlawan Pancasila”.
Ia mencontohkan juga kegagalan karakter Indonesia dari film boneka Si Unyil. Unyil mati karena dijejalkan pesan-pesan Orba, seperti KB, kesadaran pajak, dan lain-lain.
Diskusi telah mengerucut untuk suatu gagasan memancing minat membaca (buku) juga dengan buku, tetapi tentu dengan konstruksi gagasan yang lebih luas dan masif. Pembaca sasarannya adalah anak SMA. Ditunggu saja hasilnya.
©2015 oleh Bambang Trim | Praktisi penulisan-penerbitan. Ketua kompartemen Diklat-Litbang-Informasi Ikapi
makasih sharingnya mas.. buat saya ini info yang sangat menarik.. salam kenal..
Sama-sama terima kasih. Semoga bermanfaat. Salam kenal kembali.
Tentu ada pengaruhnya juga antara menumbuhkan minat baca dengan menjaring buku-buku berkualitas yang layak baca bagi seluruh strata usia. Bagaimana tanggapan ikapi mengenai hal tersebut, Pak?
Barangkali dalam suatu pertemuan pernah didiskusikan mengenai kualitas buku dalam negeri (berkaitan dengan kompetensi penulis-penulis Indonesia juga). Mengingat sekarang dominasi buku di toko buku adalah fanfiction dan karya terjemahan. Saya tidak mengatakan jenis buku fanfic jelek. Namun, menurut pendapat saya, kurang “mencerdaskan” sebagaimana harapan semua orang tua bagi anak-anak mereka.
Betul, kualitas bacaan dan ketersediaannya beriring dengan minat baca yang tumbuh. Ikapi sedang mempersiapkan program buku rekomendasi untuk anak tingkat SD kelas rendah dan kelas tinggi. Selama ini, buku-buku yang direkomendasikan dengan sebuah penilaian kelayakan memang belum pernah ada. Pemerintah lewat Puskurbuk juga rutin mengadakan penilaian buku setiap tahun untuk kategori bacaan tingkat SD hingga SMA. Di sisi lain, para penerbit dengan kebijakan dan kacamatanya juga menerbitkan buku yang menurut mereka layak baca.
Setiap tahun di Indonesia terbit lebih kurang 40.000 judul buku. Jumlah itu termasuk besar. Masalah kualitas memang terkait dengan sumber daya penulisnya. Kurikulum kita dalam hal menulis/mengarang memang kurang siap menyajikan metode standar di samping kemampuan pendidik sendiri yang tidak memadai. Jadi, soal kualitas adalah perbaikan menyeluruh, tidak bisa disandarkan pada Ikapi semata. Betul, banyak juga penerbit yang lebih senang membaca selera pasar dengan menerbitkan buku-buku yang disukai, tetapi kategori kualitasnya rendah.
Kini kontribusi dominan kuantitas buku itu berasal dari buku anak, buku fiksi, dan juga buku religi (Islam). Fiksi selalu mengundang ketertarikan tingkat tinggi, baik pengarang maupun pembacanya. Munculnya genre-genre baru dan fiksi yang “aneh” tentu juga merespons zaman. Sekali lagi, dunia pendidikan kita tidak mempersiapkan pesert didik menjadi pembaca yang kritis dengan bacaan-bacaan yang serius. Jadi, wajar fiksi “ecek-ecek” menjadi konsumsi.