Pagi tanggal 8 Juli 2015, saya baru saja hendak mengisi pelatihan untuk Direktorat Bina Sarana dan Jasa Konstruksi, Kementerian PU, tiba-tiba saya melihat ada pesan muncul di ponsel. Seseorang bernama Pak Dantje memperkenalkan diri dari Tembagapura dan hendak membuat program penulisan buku. Saya lalu kontak balik beliau yang ternyata dari PT Freeport Indonesia (PTFI). Tanpa banyak bicara, Pak Dantje menginginkan saya datang langsung ke Papua. Tiket dan akomodasi siap disediakan.
Seperti perjalanan-perjalanan lain yang saya lakukan, termasuk yang terakhir pada Juni lalu ke Osaka dan Kyoto Jepang, saya selalu bersiap untuk itu. Karier sebagai writerpreneur memungkinkan saya untuk bergerak leluasa ke mana pun di muka bumi ini. Termasuk juga untuk melakukan lawatan pertama ke Bumi Papua meskipun waktu sudah mendesak hendak lebaran.
Saya pun dijadwalkan menumpang pesawat milik Freeport yang dioperasikan oleh Airfast Indonesia. Pesawat berjenis MD 82 itu terjadwal dua kali penerbangan. Saya ternyata mendapatkan pesawat kedua yang hanya transit satu kali di Makassar dan kemudian mendarat di Timika. Naik pesawat sekitar pukul 22.30, penerbangan malam pun dinikmati dengan nyaman. Makan malam tersedia dengan menu bihun goreng. Alhamdulillah sahur juga sempat di atas pesawat meskipun pilot memberitahukan bahwa waktu makan hanya tinggal 15 menit. Saya memilih menu omelet dan sosis ayam.
Pukul 7.30 pesawat mendarat mulus di bandara internasional Timika. Setelah mengambil bagasi, tidak menunggu waktu lama, saya dijemput Pak Ichsan dari Freeport. Ya, saya belum membayangkan naik apa ke Tembagapura. Mungkin perjalanan darat. Namun, ternyata saya masuk ke ruang keberangkatan kembali.
“Naik helikopter, Pak,” jawab Pak Ichsan atas pertanyaan saya.
Helikopter Mi-171 milik Freeport yang dioperasikan Airfast pun siap membawa saya menuju Tembagapura. Saya mendapat tempat paling depan sehingga bisa agak leluas menikmati pemandangan dari jendela helikopter buatan Rusia yang dilengkapi mesin tangguh Turboshaft ini. Helikopter ini sudah semacam taksi saja bagi karyawan Freeport dan termasuk fasilitas yang disediakan perusahaan.
Heli ini secara informal di lingkungan karyawan Freeport disebut chopper. Jalan darat tersedia dengan bus yang bisa memakan waktu 1 jam 45 menit atau lebih, sedangkan dengan chopper cukup 16 menit.
Chopper tersedia setiap hari, tetapi tidak selamanya bisa terbang karena bergantung pada cuaca. Sehari di Tembagapura saya pun tahu cuaca bisa berubah secara ekstrem di ketinggian lokasi lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut itu. Kota Tembagapura dibangun tahun 1972 dan selesai pada 1973 yang merupakan kota untuk para pekerja Freeport Indonesia. Kedudukan Tembagapura sebagai distrik (setingkat kecamatan) yang terletak di Kabupaten Mimika, Papua Barat.
Dari atas chopper, saya bisa memandang deretan pegunungan dan perbukitan dengan tebing-tebing yang terjal–pegunungan yang disebut Pegunungan Sudirman. Tidak terbayang oleh saya bagaimana pembangunan kota Tembagapura yang terletak di satu lembah itu bisa dilaksanakan. Di kota inilah aktivitas dua pertambangan besar dunia dilakukan yaitu tambang tembaga Ertsberg di Gunung Ertsberg dan tambang tembaga serta emas Grasberg di Gunung Grasberg.
Mendarat di Tembagapura, udara dingin langsung menyergap. Bus lalu membawa saya dan rombongan kecil penumpang menuju terminal pemberhentian. Jalan naik turun meliuk-liuk dan saya melihat beberapa kendaraan berat dan kendaraan proyek yang melintas. Merek yang banyak digunakan untuk operasional adalah Toyota dari jenis Land Cruiser dan Ford dari jenis Everest dan Ranger Double Cabin.
Saya turun di lokasi yang dekat dengan pusat ekonomi dan perbankan yang menjadi fasilitas untuk karyawan dan keluarganya. Hanya sinyal Telkomsel yang berjaya di sini, Blackberry saya menggunakan Matrix sama sekali tidak berfungsi untuk komunikasi. Ya wajar karena kota terpencil ini berhubungan dengan dunia luar hanya melalui satelit dan juga via udara menuju Timika. Mungkin Telkomsel bersedia beinvestasi pemancar di kota berpenduduk lebih dari 30.000 jiwa ini. Handphone yang lowbat sempat menyusahkan saya. Ketika hendak mencari colokan listrik, baru tersadar colokan di sini menggunakan versi Amerika dengan tiga cabang colokan. Untunglah Pak Dantje sudah menjemput.
Kedatangan saya hanya dijadwalkan dua hari di sini. Hari pertama saya sudah diajak sedikit berkeliling, lalu mengunjungi kantor pusat Freeport Indonesia untuk mendapatkan briefing terkait penulisan buku bersama VP HL Services & General Project PTFI, Bapak Pieter Sibarani. Saya segera menangkap buku apa yang hendak dibuat.
Malam hari praktis saya tidak bisa ke mana-mana karena kabut tebal meluruh dan udara dingin sangat menggigit. Sebelum maghrib, saya sempat diantar Pak Dantje untuk mencari makanan buat berbuka. Jadilah malam dinikmati sendirian di kamar mess yang memang tidak perlu dilengkapi AC.
Hari kedua saya berkesempatan mengelilingi beberapa pusat-pusat pelayanan karyawan di Freeport, seperti pusat olahraga, rumah sakit, pertokoan dan perbankan, masjid, meshall (tempat makan), sekolah, dan juga terminal. Tugas saya memang akan menulis topik quality of life tentang bagaimana PTFI memberikan dukungan fasilitas untuk kenyamanan karyawan dan juga berbagai kegiatan yang bersifat humanis.
Untuk soal makan saja, PTFI harus menyediakan makan bagi 32.000 orang karyawan setiap hari (pagi-siang-malam). Di salah satu mess hall saya mendapatkan informasi bahwa yang makan bisa mencapai 4.000 orang setiap jam makan. Tidak terbayang berapa ton sayur, ikan, dan daging yang diperlukan setiap minggu untuk memberi makan para pekerja dengan menu bergizi seimbang, belum lagi keluarga yang tinggal di sana.
Saat-saat malam di kamar saya habiskan untuk menulis dan memikirkan angle buku yang hendak dibuat. Satu lagi pekerjaan menantang bagi saya dari perusahaan tambang tentang kota tambang. Sebelumnya, saya sudah menggarap dua buku untuk PT Badak NGL, perusahaan gas nasional yang berada di Bontang, Kalimantan Timur.
Berbeda dengan Bontang yang komplek industrinya sangat tertata rapi dengan jalan-jalan beraspal hot mix, di Tembagapura suasana tambang sangat terasa. Jalan-jalan tidak diaspal karena alasan keamanan. Debu juga banyak beterbangan, terutama saat kemarau kini sehingga terkadang ada truk berat lewat sambil mengucurkan air di jalan-jalan. Bangunan-bangunan juga tampak monoton bentuknya karena memang didirikan di lahan-lahan terbatas bebatuan. Namun, tentu saja standar kenyamanannya tetap terjaga dengan berbagai fasilitas yang tidak terbayangkan ada di daerah terpencil yang diapit gunung-gunung ini.
Saya dijadwalkan kembali pada Agustus bulan depan untuk memulai pekerjaan penulisan. Ini satu hikmah dari bekerja dalam dunia penulisan yaitu bepergian ke tempat-tempat jauh dan unik serta bertambah lagi kenalan dari berbagai kalangan. Di PTFI ini semua suku ada sehingga di sini ada paguyuban-paguyuban antarsuku yang saling mengeratkan silaturahim.
Berminat jadi writerpreneur seperti saya? Yuk ikut privat atau pelatihan yang saya gelar. Pelatihan daring (online) juga segera tersedia di www.uwritinc.com.
©2015 oleh Bambang Trim