Hari Minggu depan, 17 Mei jatuh sebagai Hari Buku Nasional yang ditetapkan Presiden Soeharto dengan berpatok pada hari lahirnya Perpustakaan Nasional RI pada 17 Mei 1980. Padahal, hari itu juga sama dengan hari kelahiran Ikatan Penerbit Indonesia 65 tahun lalu.
Soeharto selama masa pemerintahannya memang memberikan perhatian penuh terhadap pembangunan perbukuan nasional, berbeda kemudian dengan presiden-presiden setelahnya. Ikapi mencatat kegiatan paling prestisius masa Soeharto adalah pada 2 Mei 1973. Pada tanggal tersebut yang tercatat sebagai tahun kedua pencanangan Tahun Buku Internasional 1972, Presiden Soeharto mengundang pengurus Ikapi untuk jamuan makan siang di Istana Bogor. Kala itu Ikapi dipimpin oleh Ajip Rosidi.
Menyikapi produksi buku yang rendah, Soeharto memberikan pesan kepada Ikapi, “Saya harapkan untuk perkembangan buku-buku fungsionil dalam pembangunan bangsa kita, dan untuk perkembangan perpustakaan-perpustakaan, agar Saudara-saudara dapat menyusun usul-usul yang telah diolah matang-matang dan dirumuskan secara konsepsionil.”
Makan siang bersejarah itu berbuah dana yang dijadikan modal pembentukan Yayasan Buku Utama. Dana yang didepositokan menghasilkan bunga untuk memberi hadiah tahunan kepada buku remaja terbaik setiap tahun. Begitu ungkap Ajip Rosidi.
(Sumber: 50 Tahun Ikapi Membangun Masyarakat Cerdas)
Iseh penak zamanku toh le? Untuk soal perbukuan, patut diakui Presiden Soeharto memang lebih baik daripada penerusnya kemudian. Kini, politik perbukuan kita memang terombang-ambing tak jelas arah. RUU Sistem Perbukuan Nasional yang telah disiapkan bertahun-tahun mangkrak di DPR. Begitu mencuat kasus buku-buku tak layak baca, baru kemudian ribut soal perlunya politik perbukuan. Bahkan, kondisi perbukuan untuk buku-buku edukasi pun berada di persimpangan ketika Kurtilas baru setengah hati dapat dijalankan dan sisanya tetap menggunakan KTSP.
Oh ya, salah satu menteri zaman Orba yang sangat peduli buku dan mencuatkan isu politik perbukuan adalah Fuad Hasan (Mendikbud masa itu). Beliaulah pencetak sejarah membolehkan penerbit menjual buku ke sekolah-sekolah meskipun kebijakan kontroversial ini mengakibatkan karut marut distribusi buku.
Nah, lucunya lagi negeri ini baru sekali menyelenggarakan Kongres Perbukuan Nasional yaitu pada tahun 1995, tepatnya 29-31 Mei. Hebatnya kongres ini melibatkan begitu banyak kementerian, unsur media massa, sekolah/perguruan tinggi, dan unsur masyarakat terkait. Kongres besar itu menghasilkan beberapa keputusan poltik perbukuan, namun kemudian tidak berbunyi sampai kemudian Indonesia mengalami krisis.
Ya, sejak itu, tidak ada lagi kongres-kongresan ataupun lokakarya perbukuan secara nasional yang membincangkan nasib industri buku ke depan dengan melibatkan komponen-komponen penting bangsa ini. Bahkan, untuk acara perhelatan-perhelatan pameran buku di Indonesia, sebagian besar pejabat emoh hadir untuk sekadar membuka–paling sering diwakilkan.
Minimnya kepedulian pemerintah terhadap industri perbukuan nasional sedikit banyak menyebabkan industri ini berjalan sendiri tertatih meski tetap mencoba eksis bersama Ikapi. Itu sebabnya meskipun Indonesia ditetapkan sebagai Guest of Honour Frankfurt Book Fair 2015, kita sejatinya gamang soal data-data perbukuan yang valid dan arah pembangunan industri perbukuan nasional ke depan. Kita seperti bukan negara yang sudah berusia 70 tahun atau industri bukunya lebih tua dari itu.
Selamat Berbulan Buku dan Berhari Buku! Nggak usah mikir. 🙂
Catatan:
Presiden lain yang tercatat pernah menerima pengurus Ikapi menjelang Kongres Ikapi adalah Megawati Soekarnoputri dan juga Wapres Jusuf Kalla di istana masing-masing
pada tahun 1985, saat kelas 2 Sekolah Dasar, saya mendapatkan berkah dari kebijakan perbukuan saat itu. 1 set perpustakaan lengkap dengan koleksi ratusan buku datang ke sekolah kami. buku-buku tersebut membawa kami berpetualang ke masa penjelajahan samudera, revolusi industri di Inggris, Perang Dunia I dan II, perang kemerdekaan Indonesia bahkan menjelajah nusantara padahal waktu itu belum tentu sebulan sekali kami bisa pergi ke pasar kecamatan yang kami anggap sebagai pusat peradaban.
Betul Pak, dulu sekolah-sekolah banjir buku 🙂 dan buku adalah “barang mewah” yang selalu menghadirkan rasa ingin tahu.