Generasi Biang

Saya tidak sedang menulis tentang iklan sebuah minuman berenergi yang menggunakan tagline tersebut. Saya hanya ingin menuliskan tentang MADRE yang dalam bahasa Spanyol berarti ibu dan dalam bahasa kita ada satu kata yang bermakna serupa tapi tak sama yaitu BIANG.

Sudah membaca kumpulan cerita Dee (Dewi Lestari) bertajuk Madre? Atau Anda sudah menonton tayangan perdananya di bioskop dengan setting daerah Braga Bandung yang sering saya lewati dari perjalanan pulang kantor ke rumah. Madre berkisah tentang toko roti tua dan adonan roti tua yang diwariskan setelah berusia 70 tahun pas dengan setting Braga yang di sana juga terdapat toko roti tua yang tampaknya sudah turun ke generasi kedua atau ketiga.

Saya menulis ini bukan hendak meresensi buku atau film Madre. Namun, sebuah koneksilah yang membawa saya menuliskan Madre. Sore hari kemarin saya tergopoh memberhentikan seorang tukang roti keliling yang kerap lewat di depan rumah saya. Baru kali itu saya memberhentikannya karena kami sempat terbiasa berlangganan roti modern bermerk terkenal. Tukang roti yang saya berhentikan menjual roti produk lama bermerk Djie Seng. Tidaklah mengherankan jika kita menarik masa ke beberapa dekade lampau, etnis Tionghoa adalah pelopor dalam menghasilkan roti-roti bercita rasa tinggi.

8065868150_ce08dd8c10

Roti Djie Seng melemparkan saya ke masa lalu ketika memakan roti menjadi ritual menyenangkan bersama secangkir teh panas ataupun kopi panas yang mengepul. Saya bertanya pada sang penjual tadi: “Ada roti kelapa?” Saya sudah menyangsikan roti itu ada, tetapi ternyata ada. Roti yang berisikan adonan kelapa kopyor yang manis dan dahulu saat saya menghabiskan masa kecil di Tebingtinggi Deli (80 km dari Medan), roti isi kelapa itu begitu akrab di lidah sehari-hari bersama secangkir kopi. Walaupun masih anak-anak yang tidak dibiasakan minum kopi, roti kelapa ini memang sepertinya wajib dicelupkan ke dalam secangkir kopi dan enaknya baru terasa.

Roti Djie Seng membuat saya mengoneksi masa lalu dan menjadi bahan perbincangan dengan istri saya tentang roti-roti masa lalu yang sudah tidak kita temukan lagi. Bahkan, setiap ke Jakarta menggunakan jasa travel langganan saya yang memiliki pool di Cikini, di seberangnya saya selalu melewati toko roti tua. Toko roti yang mirip kawasan kuno Braga Bandung. Selalu ada keinginan untuk singgah dan membeli roti di sana. Seperti halnya keinginan saya untuk singgah kembali di sebuah toko roti kawasan Kampung Keling Medan, tempat dulu ayah saya senang membawakan kami oleh-oleh sekotak roti yang aromanya luar biasa menerbitkan selera.

Roti Djie Seng juga membuat saya mengoneksi masa kini yaitu film Madre dari Mizan Production yang merupakan pengembangan dari karya Dee serta cerita Madre sendiri yang menggabungkan sebuah ironi bisnis masa lalu yang bersaing dengan bisnis modern. Warisan “konten” yang sangat berharga dan kecanggungan generasi muda kini untuk menerima warisan itu. Sebuah kisah kewirausahaan yang apik terjalin serta gaya Dee yang menyisipkan pengetahuan sains ke dalamnya meski hanya pada sebuah adonan roti!

Ya, saya menghubungkannnya dengan generasi biang yaitu generasi-generasi yang mewarisi sebuah konten luar biasa dari masa lampau, lalu memolesnya menjadi kekuatan pada masa kini. Pasar modern kini juga menghendaki nostalgia masa lampau untuk dihidupkan kembali, terutama dalam kasus-kasus bisnis kuliner yang mementingkan cita rasa dan keamanan mengonsumsinya. Kita boleh berasumsi bahwa terkadang orang-orang masa lalu itu lebih cerdas dari masa kini dalam menciptakan sebuah “konten” seperti halnya tersirat dalam Madre.

Indonesia adalah surga konten untuk hal bernama kuliner, fashion, sastra, film, musik, dan banyak lagi. Semestinya memang di Indonesia muncul banyak generasi biang yang mampu mengolah konten-konten “madre” menjadi konten-konten yang bisa dikonsumsi orang modern kini. Salah satu jawabannya memang entrepreneurship. Tanpa entrepreneurship hanya orang-orang asing yang akan menikmati karena mereka berani membayar konten biang itu dengan harga selangit dan bagi kita yang berpikiran pendek adalah lebih baik menjual “konten biang” daripada melanjutkannya sebagai sebuah usaha. Madre![]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *