Beberapa waktu lalu majalah GATRA menurunkan liputan khusus tentang seorang anak muda asal India lulusan MIT dan Harvard Business School bernama Salman Khan. Ia meninggalkan pekerjaan mapannya sebagai manajer investasi dan menceburkan diri dalam pembuatan bahan ajar digital hingga kemudian mendirikan Khan Academy. Cerita bermula ketika sepupunya mengalami kesulitan belajar matematika. Hanya dengan bantuan di ruang chat Yahoo Messenger, kemudian Khan menggunakan software sederhana Yahoo Doodle dan Microsoft Paint untuk mengajari sang sepupu.
Khan akhirnya meninggalkan pekerjaan mapannya. Uang pesangon sekitar Rp9 miliar ia gunakan sebagai modal awal Khan Academy. Ia pun kemudian membuat video tutorial pembelajaran yang diunggah di Youtube hingga kini berjumlah lebih dari 3.000 tutorial. Tak urung pujian pun datang dari seorang Bill Gates yang menyatakan Khan sebagai anak muda luar biasa. Decak kagum makin mengalir karena tutorial itu dibagikan gratis tanpa bayaran sepeser pun.
Kisah Salman Khan bisa Anda baca juga di dunia maya. Sama seperti yang lainnya, decak kagum juga terjadi pada diri saya. Namun, lebih jauh dari itu saya pun berpikir soal content yang tidak selalu berbanding lurus dengan penggunaan teknologi tinggi. Kalaulah Salman Khan tidak punya kemampuan mengemas konten pembelajaran menjadi mudah, ia pun tidak akan mampu mengembangkan tutorial meski dengan teknologi canggih sekalipun.
Dalam era digital publishing banyak penerbit justru bisa mati seperti “semut di lautan gula”. Ya, banyak penerbit yang justru tidak bisa berbuat banyak meskipun mereka memiliki kekayaan konten luar biasa. Masalahnya mereka tidak tahu konten itu harus dikemas seperti apa. Kebanyakan dari mereka masih berpikiran justru teramat “tradisional” soal e-book–mengubah paper book menjadi e-book dengan bantuan software tertentu.
Ada satu kali saya mengikuti presentasi sebuah content developer yang ingin mengajak bekerja sama sebuah penerbit memasuki bisnis digital publishing. Sekali lagi, saya melihat bukan soal teknologinya yang sudah mapan dan canggih, tetapi soal konten yang mau dikembangkannya. Jelas sang content developer hanya punya teknologi minus konten yang bisa dikembangkan lebih jauh sehingga mereka perlu menggandeng penerbit.
Di sisi lain, para penerbit khususnya penerbit buku teks (buku pelajaran) merasa harus masuk ke dunia digital publishing dengan kesadaran bahwa teknologi juga akan menyentuh dunia pendidikan. Kasus buku sekolah elektronik (BSE) yang diusung Kemendikbud adalah satu contoh yang membuat para penerbit buku pelajaran pening tujuh keliling meskipun buku BSE akhirnya kembali dicetak menjadi buku kertas agar dapat digunakan sebanyak mungkin siswa.
Poin tulisan saya bahwa teknologi digital publishing dapat dengan mudah diadopsi, baik yang berbiaya tinggi maupun berbiaya rendah menggunakan open source. Namun, yang terpenting adalah apa kontennya dan siapa yang mampu mengembangkan kontennya. Dan Indonesia sebenarnya adalah negara yang kaya konten sekaligus butuh konten dengan terjadinya karut marut yang melatari banyak hal saat ini, seperti persoalan karakter, semangat kewirausahaan, integritas dan antikorupsi, deradikalisasi, melek literasi, etiket berlalu lintas, kearifan lokal, dan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia.
Penerbit perlu orang yang mampu mengembangkan konten rumit menjadi sederhana dan diminati karena gaya penyajian/penyampaian yang mengena di hati. Bukan hanya penerbit sebenarnya, melainkan juga organisasi lain yang menjadikan pendidikan/diklat sebagai motor utama pembangunan sumberdaya manusianya. Ingat bahwa tidak serta merta sebuah buku atau sebuah presentasi powerpoint dapat didigitalkan menjadi konten digital–diperlukan pengembangan dan pengemasan lagi.
Teknologi akan terus berkembang dan semakin canggih. Namun, tetaplah konten yang menjadi kunci dan menjadi raja bagi pengembangan sebuah sistem pembelajaran (tutorial) yang membumi, terutama di dunia pendidikan. Karena itu, mulai mencari orang-orang muda seperti Salman Khan–punya semangat kegilaan luar biasa untuk mengembangkan konten-konten rumit menjadi sederhana atau konten-konten yang sederhana menjadi punya nilai lebih. []
©2012 oleh Bambang Trim
Konten selalu adalah raja, dan dalam dunia digital selain teknologi maka yang dibutuhkan bukan hanya teknologi tetapi sebuah ekosistem digital.
Sepertinya “raja” tadi, meski punya segalanya, tetap butuh “konsultan” dalam menjalankan pemerintahannya.
Konten selalu adalah raja, dan dalam dunia digital teknologi hanya bagian kecil tetapi yang dibutuhkan adalah sebuah ekosistem digital.