Bambangtrim.com | Ucapan pelukis Jeihan tentang buku masih selalu saya ingat yaitu “Buku adalah Kubu”. Kubu di sini berkonotasi positif, bukan seperti kubu-kubuan di arena politik dan sejenisnya. Kubu adalah sebuah benteng, baik untuk bertahan maupun menyerang.
Di dalam kubu maka terdapat pasukan, logistik, dan alutsista yang mencerminkan sebuah kekuatan. Demikian pula buku yang ditulis oleh siapa pun mencerminkan kekuatan pikiran sekaligus perasaan penulisnya. Kita dapat menerka kedalaman diri seseorang dari apa yang ditulisnya.
Jadi, buku bukan sekadar kartu nama yang hanya menunjukkan identitas, domisili, dan jabatan atau profesi kita. Buku juga bukan sekadar CV yang menunjukkan reputasi kita. Namun, buku lebih dari itu dan kubu adalah representasi buku yang sungguh tepat.
Tidak bosan pula saya mengulang ungkapan Mochtar Lubis tentang buku: “Senjata kukuh yang berdaya debat hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk perubahan nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan, adalah buku.”
Setiap orang yang berpendidikan dan berpengalaman harus memperjuangkan penulisan buku bagi dirinya. Paling tidak sekali dalam hidupnya ia menulis buku, buku apa pun itu yang merepresentasikan pemikiran dan pengalamannya–bukan buku ecek-ecek. Buku yang ditulisnya sendiri atau berdua bersama koleganya dengan serius, bukan buku yang ditulis beramai-ramai, lalu dilabeli antologi.
Mengapa saya menolak antologi disebut buku? Antologi yang ditulis beramai-ramai hanya memberi ruang sempit bagi pemikiran dan perasaan kita. Itu sama saja dengan menulis sebuah artikel atau esai–tidak memberikan ruang kontemplasi bagi pembaca yang cukup luas. Jadi, mengapa Anda harus berkutat menulis begitu banyak antologi, padahal Anda mampu menulis buku Anda sendiri?