Buku adalah Kartu Nama

Rapat redaksi di Visimedia untuk membincangkan konten majalah PDN (Kemendag) menjadi lebih hangat karena perjumpaan dan perbincangan informal saya dengan Mas Anis Maftuhin–redaktur yang juga seorang pegiat buku. Dulu Mas Anis sempat bergiat di penerbit Pena Pundi Aksara. Dan rupanya kami juga dulu sempat bersua saat saya mendeklarasikan berdirinya Forum Editor Indonesia.

Perbincangan melebar pada aktivitas yang kini kami jalani sebagai ghost writer ataupun co-writer untuk para tokoh. Mas Anis menceritakan aktivitasnya menangani beberapa buku mantan pejabat dan juga para tokoh. Salah seorang tokoh yang benar-benar sadar buku menyebutkan, “Bagi saya buku ini ibarat kartu nama!”

Nah, ini yang menarik. Lagi-lagi saya ingat tulisan Jay Conrad, dkk. dalam bukunya Guerrilla Publicity (2008). Conrad menuliskan: “Menerbitkan buku akan melejitkan Anda ke strata tertinggi di kalangan tokoh-tokoh ternama. Ia memberi Anda lebih dari sekadar kredibilitas; segala ucapan Anda akan dipertimbangkan. Menulis buku membuat Anda diakui sebagai seorang ahli, pemimpin dalam bisnis Anda, bintang dalam bidang Anda. Ini sangat membantu ketika Anda meluncurkan dan mempromosikan produk atau jasa baru….”

http://manistebu.com/2012/12/16/berkebun-merek-dengan-benih-buku/

Jadi, buku adalah “kartu nama” superlengkap yang akan menunjukkan reputasi, kapabilitas, dan kredibilitas seseorang. Buku bukan sekadar buku, tetapi di dalamnya terkandung kekuatan untuk mengenalkan siapa kita. Itu sebabnya makin terus muncul kesadaran para tokoh untuk membukukan kiprahnya, termasuk pemikiran-pemikirannya.

Saat menulis catatan ini, saya sedang berada Bogor. Acara menemani anak berkarya wisata bersama rombongannya ke Jungle Land, saya sisipi dengan beberapa pertemuan di Bogor. Alhasil dua malam saya menginap di Bogor ada tiga pertemuan yang terjadi dan dua pertemuan lainnya batal, lalu dialihkan ke hari lain.

Saya bersua dengan pakar oshibana untuk merancang konten kursus seni bunga kering itu, menguatkan merek, dan juga mendigitalkannya. Bu Mutia Prasodjo, adik dari anggota Tim 9, Imam Prasodjo, ini memang telah menekuni kreasi oshibana sejak lama. Beliau menjadi peserta kursus menulis bahan ajar Ditjen PAUDNI yang mengundang saya sebagai narasumber. Ya, oshibana termasuk konten luar biasa yang dapat dikembangkan.

Selain itu, saya pun bertemu dengan pegiat sebuah gerakan sosial untuk peduli dengan veteran, Mbak Ati Prasodjo, yang mengelola Yayasan Sahabat Veteran. Ia bersama suaminya juga bergiat menjadi trainer untuk topik self-healing. Pengemasan buku dan konten menjadi topik bahasan kami.

Malamnya saya pun ada satu pertemuan lagi membahas tentang penyelenggaraan pelatihan penulisan ilmiah populer dan plus satu pekerjaan menuliskan buku pemikiran seorang pengusaha sukses. Jadilah malam itu berlangsung kesepakatan bernilai puluhan juta rupiah untuk kerja saya sebagai penulis dan editor.

Betapa bagi saya sebagai pengembangnya, buku adalah “magnet” yang merekatkan saya dengan banyak orang, banyak tokoh, banyak pakar, dan banyak kesempatan untuk berbuat serta berbagi. Pulang dari Bogor jelas pikiran saya menjadi “tidak tenang”, begitu banyak rencana berkelindan. Ya, termasuk bagaimana kalau saya hijrah ke Bogor? 🙂

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *