Website atau situs kini sudah menjadi kebutuhan pokok bagi lembaga, perusahaan, bahkan perseorangan yang hendak memublikasikan aktivitas, produk, ataupun eksistensinya. Berbagai jasa pembuatan website pun kini tersedia dan bukan lagi persoalan pelik untuk mewujudkannya. Teknologi juga menyediakan fasilitas yang memungkinkan website benar-benar tampil atraktif sekaligus interaktif.
Walaupun demikian, seperti lagu lama dan juga masalah yang umum terjadi adalah konten situs yang tidak pernah diperbarui atau malah di dalam situs itu masih banyak bagian yang ompong alias rumpang. Alhasil, kadang situs terkesan asal ada di dunia maya, tetapi tidak memberikan informasi yang cukup bagi pengunjung ataupun pengguna. Situs-situs itu kemudian berubah menjadi situs zombie.
Fakta pertama saya temukan saat hendak menulis artikel tentang provinsi termuda, Kalimantan Utara (Kaltara) baru-baru ini. Saya terkoneksi dengan situs milik pemprovnya. Namun, sayang bagian yang rumpang banyak saya temukan atau kalaupun ada informasi tersedia, hanya secuil. Hal itu setali tiga uang dengan situs-situs lembaga pemerintah atau pemkab/pemkot di Kaltara.
Boleh saja alasannya memang karena pemprov Kaltara sendiri masih baru terbentuk. Namun, jika ditilik beberapa situs milik lembaga pemerintah atau swasta yang lain juga cenderung miskin konten. Selain itu, tampilan situs kadang tidak akrab pengguna ‘user friendly‘ sehingga lebih banyak membingungkan daripada memudahkan pencarian informasi.
Hal lain adalah kecenderungan hanya menampilkan konten-konten miliki situs lain untuk disajikan ulang ‘repost‘. Kondisi yang menunjukkan pengelola situs tidak kreatif dan aktif menciptakan konten sendiri.
Dua tahun lalu saya sempat mengisi workshop menulis konten web untuk sebuah bank milik daerah. Situs milik bank bergengsi itu pun saya bombardir dengan kritik karena masih terdapatnya kesalahan tik, kesalahan informasi, dan juga penulisan konten yang terkesan amatiran. Citra bank agak terganggu dengan penampilan situs seadanya tersebut.
Saya yakin bahwa sejatinya bahan atau sumber konten itu tersedia berlimpah. Hanya mungkin memang tidak ada yang menggarapnya untuk menjadi tulisan yang layak baca. Tentu perlu sekali menugaskan seseorang sebagai “kuncen” atau penjaga konten, termasuk mengalirkan informasi berkualitas dalam bentuk tulisan.
Penulisan konten web atau situs memang menjadi satu keterampilan tersendiri karena kadang pola penulisannya berbeda dengan media lain. Penulisnya harus melek media dan akrab dengan teknologi informasi, terutama media sosial untuk bisa menampilkan konten yang layak baca melalui gawai ‘gadget‘.
©2015 oleh Bambang Trim
Sangat menarik artikelnya dan sekaligus masukan bagi siapa saja yang punya situs zombie. 🙁 Terima kasih telah berbagi ilmunya…
Sama-sama, tetap kreatif. 🙂
Hehe, rumpang seperti gigi ompong ya Pak? Memang betul, mengisi blog atau web sih mudah, tapi mengisinya ogah. Apalagi situs milik pemkot atau pemda. Miskin informasi, jelas. saya pun terganggu dengan ketidakakuratan bahasa dan penulisan. Terima kasih.
Membuatnya mudah, mengisinya ogah. Situs memang bukan sekadar ada. Kini ada 73 juta pengakses internet di Indonesia. Situs menjadi etalase yang nyata.
setujuuu…memelihara lebih susah daripada membuat seringkali. rumahnya udah ada tapi nggak pernah dibersihin, nggak pernah ditata rapi. masalah serupa juga sering terjadi dengan blogger angin-anginan seperti saya :p blognya banyak sarang laba-labanya.
situs-situs korporat banyak dijumpai kontennya kurang informatif dan jarang di update.