Beginilah Cara Saya Mengompori Orang Menulis Buku

Entah sudah berapa kali saya mengisi kelas-kelas pelatihan menulis buku di berbagai daerah di Indonesia. Sejak mencoba menulis buku kali pertama tahun 1994, saya keterusan keranjingan menulis buku. Padahal, awalnya saya menekuni bidang editing (penyuntingan) naskah buku. Dalam kuliah memang saya tidak dikompor-kompori untuk bisa menulis buku, cukup menulis saja dan lalu punya keterampilan mengurusi tulisan orang lain. Alih-alih menyemangati diri sendiri untuk terus berproses kreatif, saya malah juga menyemangati orang lain untuk menulis buku.

Entah berapa orang pula yang akhirnya ‘terjerumus’ mampu dan mau menulis buku karena bujukan saya–bahkan sebagiannya paksaan. Teman-teman editor yang pernah berinteraksi dengan saya, umumnya terpaksa saya jebloskan ke dunia penulisan buku ketika para penulis mandek menghasilkan karya dan kita tidak bisa menunggu penerbit berhenti berproduksi. Karena itu, saya pun mulai mengasah teknik stimulus ide dan rentetan ide tadi lalu dieksekusi beramai-ramai menjadi buku. Pengalaman menghasilkan 30 judul buku dalam waktu satu bulan pun pernah saya alami bersama tim ‘pasukan elite’ saya.

Kini, berbekal metode TRIM (topik-riset-inovasi-matriks), saya makin sering mengompori seseorang untuk mau dan mampu menulis buku. Peta eksekusi ide pun saya tunjukkan dengan mengenali dulu apa itu anatomi buku,Β terutama nonfiksi. Memang sah-sah saja orang sesumbar mengatakan bahwa ‘menulis buku itu gampang’. Gampangnya di mana dan tipe buku seperti apa yang disebut gampang?

Ada berbagai jenis outline buku yang dapat Anda kenali lewat metode TRIM dan Anda dapat menentukan mana yang paling gampang. Sebagai contoh ada buku dengan format outline ‘tanya-jawab’. Secara teknik, buku ini paling gampang sedunia. Anda hanya tinggal mengumpulkan pertanyaan sendiri dan jawab sendiri sekemampuan Anda. Taruhlah contohnya berjudul 101 Tanya-Jawab Pasangan Galau: Solusi Darurat Pernikahan. Ya, kalau Anda memang pakar pernikahan dan sudah menikah berpuluh tahun lamanya dengan sukses, Anda layak menulis buku seperti ini dengan format tanya dan jawab.

Bagaimana seseorang bisa dikondisikan menulis buku? Ya, percobaan pertama saya lakukan sewaktu masih aktif di MQS dengan mengelar pelatihan H16H. Para peserta digenjot untuk mampu menulis buku sebanyak 16 halaman dengan pemetaan matriks. Hasilnya, 90 persen peserta mampu melakukannya. Bahkan, saya melakukan sesuatu yang agak ‘gila’ kala itu seingat saya tahun 2005. Saya memboyong editor dan layouter ke pelatihan itu. Hasilnya, draft naskah para peserta dilayout menjadi halaman-halaman buku dan diberi kover yang sudah didesain secara massal. Para peserta pelatihan 2 hari 1 malam itu membawa hasil dummy buku sementaranya.

Saya ingin membuktikan menulis buku dapat dikondisikan dalam ruang dan waktu tertentu meski hanya 16 halaman–pada kenyataannya rata-rata bisa menyelesaikan 32-40 halaman buku. Kini di antara alumni pelatihan tersebut banyak yang sudah menjadi penulis buku di beberapa penerbit terkemuka.

Ngompori Dosen-dosen FSR IKJ menulis buku

Satu kisah lagi yang saya lakukan dan sangat berkesan bagi saya adalahΒ in-house training untuk dosen-dosen di Fakultas Seni Rupa, IKJ, tahun 2010. Dalam waktu 2 hari 1 malam, dosen-dosen itu saya kompori untuk mampu menulis buku dengan metode TRIM. Malam menjadi saat mengasyikkan bagi mereka untuk mengeksekusi ide yang digenjot keluar pagi dan siang sebelumnya. Sebagian dosen ini para pakar di bidangnya dan umumnya sudah bergelar master dan doktor.

Karena luar biasa mengeluarkan energi hampir 12 jam, saya menggaet praktisi penulisan buku, Arul Khan untuk mengisi soal menelusuri bahan dengan menggunakan internet. Pagi pun saya bisa beristirahat sejenak. Dan siangnya para dosen itu harus mempresentasikan hasil buku yang dibuatnya semalam. Memang, ini pelatihan luar biasa menguras energi karena semua peserta diselia satu per satu untuk memudahkan mereka mengeksekusi ide.

Setelah pelatihan apakah program berhenti? Tidak, beberapa peserta pelatihan ini sudah mengikat kontrak dengan Penerbit Tiga Serangkai untuk membuat buku serial bidang industri kreatif, utamanya seni. Saya mengawalnya sampai pada eksekusi outline dan drafting, lalu para dosen ini yang sebelumnya tidak pernah menulis buku pun merasa percaya diri bukunya dapat diterbitkan dan akan dibaca oleh banyak orang. Intinya memang harus ada mengeluarkan ‘buku di dalam diri mereka’ karena ilmu mereka bukanlah ilmu sembarangan yang dapat dikuasai banyak orang pula tanpa dituliskan.

Nah, untuk model ngompori orang nulis buku secara khusus ini memang saya memerlukan sesi malam hari. Sesi untuk membangkitkan kesenangan mereka menghadapi laptop dan juga menstimulus keluarnya ide-ide plus ilmu-ilmu dan pengalaman yang mereka miliki. Paling tidak memang pelatihan ini harus dilakukan 2 hari 1 malam; idealnya 3 hari 2 malam plus pelatihan self-editing.

Tahun 2013 banyak agenda pelatihan yang saya selenggarakan kembali, terutama lewat Akademi Literasi dan Penerbitan Indonesia (ALINEA). Salah satu targetnya memang menghasilkan lebih banyak lagi penulis buku.

Hehehe… entah mengapa saya senang menjadi komporis buku Indonesia. Bahkan, kompor saya beberapa masa lalu sempat meleduk, sampai-sampai seorang becaker gaul bernama Harry Van Yogya saya kompori untuk nulis buku tentang jalan hidupnya: The Becak Way terbitan Metagraf (lini Tiga Serangkai). Bagaimana bisa? Ya bisa, tinggal mengalibrasi apa isi kepala dan hati Harry Van Yogya, menghabiskan beberapa masa untuk makan dan ngobrol maka diperolehlah draft penulisan untuk dieksekusi.

Begitulah cara saya mengompori orang untuk menulis buku. []

Β©2012 oleh Bambang Trim

12 thoughts on “Beginilah Cara Saya Mengompori Orang Menulis Buku”

  1. wah mantap mas… Saya sering kompori untuk menulis, eh malah disuruh benerin kompor di dapur.. He he..

    Akhirnya saya kompori anak-anak, dibentuklah Komunitas Kalamuna.. Do’anya mas

    1. Hehehe… kalau benerin kompor dah jadi kerjaan sejak SMP Mas… Rasanya menantang menarik sumbu-sumbu itu. πŸ™‚ Sip… Komunitas Kalamuna, komunitas menulis kah? Salam sukses, semoga dimudahkan dan dimuliakan dg tulisan.

  2. Saya korban yg dikompori Mas baru-baru ini πŸ˜€
    Jd semangat n pengen cepat2 diselesaiin gara2 dikompori hehe
    Thank you Mas uda ngompori saya πŸ˜€

  3. Hiks, pengen ikutan, Pak. Tapi bulan september belum pulang πŸ™
    Merasa dikompori juga baca tulisan ini, semoga segera bisa nulis buku sendiri, apalagi yang nonfiksi kayak punya Mas Hary

  4. Masya Alloh, bagus betul ide sampeyan pak. Saya yang seorang guru dan pengin banget bisa nulis buku pengin ikut pelatihan kayak gini.

    1. Insya Allah bisa dibuat pelatihan untuk guru nanti. Ada banyak sekolah yang juga sudah saya kunjungi, tetapi model pengondisian begini memang masih jarang dilakukan. Semoga bisa buat writing camp untuk guru nantinya.

  5. Abu Usamah as-Sulaimani

    Mungkin gak, ya, kalau saya rakit sendiri “kompor” pembakar semangat ini?

    Entah kenapa, pribadi pemalu sulit lepas dari imej saya. Selama ini pun, di kantor, seperti orang autis; menyunting dan menulis ala sendiri, jadi terkesan “ogah” dikritik ataupun dinasihati “to be a better man”.

    Jangan-jangan, saya mesti kursus kepribadian dulu sebelum kursus kompor-komporan bareng Pak Bambang πŸ˜›

    1. Kompor (motivasi) terbaik berasal dari diri sendiri, pembelajaran terbaik adalah dengan mentor atau guru sejati :). Di situ kita akan menemukan banyak kearifan tentang menulis dan menyunting.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *