Bambangtrim.com | ‘Perasaan’, kata guru saya, itulah yang sering terbelenggu, bukan pikiran. Pikiran kita selalu bebas. Buktinya, ketika lapar maka pikiran kita secara otomatis menuntun untuk mencari makanan dan makan. Namun, perasaan kita mulai memilih-milih mau makan apa dan di mana. Padahal, penumpas rasa lapar adalah makan (tak harus pizza).
Orang gila perasaannya yang terganggu. Kala lapar, ia tetap mencari makanan meskipun harus mengais di tempat sampah. Perasaan jijik, kotor, kena penyakit, sudah terganggu di dalam dirinya. Walau demikian, ia tetap tampak sehat fisiknya karena ia masih berpikir untuk kebutuhan dasarnya dan tidak berperasaan bakal kena penyakit.
Pada dasarnya, berpikir dan berperasaan sama-sama penting sehingga satu paket itu disebut ‘akal budi ‘. Orang yang menulis pasti berpikir, tetapi belum tentu berperasaan. Namun, ada juga yang berperasaan dulu saat menulis, tetapi tidak berpikir.
Contohnya, seorang penulis yang belum berkarya sudah nanya berapa besar royalti dan apakah naskahnya tidak akan dibajak, padahal ia belum nulis. Itu pakai perasaan namanya, sementara pikiran tidak digunakan.
Bingung, ya? Sama saya juga. Tersebab bingung, kita mestinya sama-sama belajar dan tidak diperkenankan saling mendahului.
Makanya jangan banyak perasaan (baper versi2.0) dalam menulis. Tulis saja. Jangan bawa perasaan (baper versi 1.0), oh tunggu dulu. Itu sih harus. Menulis dengan hati (kalbu) itu kan kata lain menulis dengan perasaan. Kalau cuma pakai pikiran, tulisan akan menjadi kering, bahkan tidak punya empati kepada pembaca.
Namun, lucunya, orang yang dituduh baper dalam menulis, katakanlah menulis status atau rumpi di WA, sebenarnya belum tentu ia memakai perasaannya. Dibawa ia, tetapi dipakai nggak. Mirip tukang ojek yang helmnya ditaruh di ujung joknya. Helm dibawa, tetapi tidak dipakai, kecuali ada polisi dan razia.
Alhasil, kadang tulisan yang dianggap baper, tetapi tidak paper (pakai perasaan) tadi malah merusakkan suasana karena ditulis tanpa menggunakan perasaan. Nah, loh!
Dulu saya ingat orang yang pe-de habis atau suka berkhayal (mirip mimpi kali ye …) di kota asal saya, Tebingtinggi Deli, dijuluki atau tepatnya diejek dengan kata ‘perasaan’, lalu kemudian muncul istilah turunan “prasosek”—kata lain dari ‘perasaan’.
“Ih, perasaan! Prasosek kau!” begitulah cibirannya.
Jadi, bawa perasaan dan banyak perasaan ini memang sudah aktual dari dulu, bahkan mungkin sejak manusia diciptakan. Media sosial juga ramai karena orang yang bawa perasaan dan banyak perasaan, dan lebih ramai lagi dengan orang yang bawa perasaan, tetapi tidak pakai pikiran. Karena itu, sudah hukumnya begini:
- menulis tanpa perasaan, tetapi dengan pikiran;
- menulis tanpa pikiran, tetapi dengan perasaan;
- menulis dengan perasaan dan pikiran;
- menulis tanpa perasaan dan pikiran.
Memangnya ada yang terakhir, menulis tanpa perasaan dan pikiran? Ada saja. Itu terjadi ketika seseorang menulis sesuatu, lalu diagihkan di WA. Setelah dapat protes, buru-buru ia menuliskan: “Maaf salah kirim. Hp saya dipinjam oleh ….”[]