Bambangtrim.com | Terbetik kabar awal Oktober 2016 lalu bahwa pada ajang Borobudur Writers & Cultural Festival (BWCF) 2016 digelar musyawarah berdirinya asosiasi penulis profesional dari berbagai latar belakang, seperti fashion, olahraga, budaya, sastra, dan lain lain. Acara tersebut disponsori oleh Bekraf yang menargetkan bahwa musyawarah tersebut dapat menghasilkan peta permasalahan penulis di Indonesia (seperti diungkap di tirto.id).
Harapan berdirinya sebuah organisasi profesi penulis atau pengarang memang sudah lama dibunyikan. Walaupun begitu, sejarah mencatat bahwa organisasi penulis-pengarang pernah ada dan umumnya dipelopori oleh para sastrawan. Namun, kemudian redup dan lenyap tanpa kabar.
Apa yang ada saat ini hanya komunitas-komunitas penulis dan jika pun ada yang menyebut asosiasi, belum jelas benar bentuk dan keberadaannya.
Soal ini pernah saya tulis juga di Kompasiana.
Meskipun tidak berpartisipasi secara langsung dalam musyawarah tersebut, saya coba mengikuti perkembangan musyawarah tersebut. Tampak bahwa masalah yang diangkat salah satunya terkait hubungan penulis dan penerbit terkait dengan perlindungan-perlindungan terhadap profesi.
Dari situs tirto.id saya mendapatkan informasi bahwa yang mewakili penulis saat deklarasi dalam musyawarah tersebut adalah Langit Kresna Hariadi (yang dikenal sebagai novelis sejarah) dan Imelda Akmal.
Seperti dikutip tirto.id, Langit membuat pernyataan berikut:
Langit mengatakan dunia penerbitan Indonesia dan toko buku itu sebenarnya tidak pernah ada tanpa penulis. “Namun ketika karya penulis diterbitkan dan dijual di toko buku, dipotong sampai 65 persen, royaltinya berapa? Penulis tidak punya daya tawar, itu sebabnya kami berpikir alangkah bagusnya kalau penulis itu bisa dihimpun, sehingga punya daya tawar supaya penerbit tidak seenaknya membikin nominal royalti,” jelas Langit.
Itu baru satu permasalahan soal dunia penulis yang disampaikan oleh Pak Langit. Jika dibedah lebih jauh data dan fakta soal rabat di toko-toko buku atau distributor, masalah penulis yang juga menukik pada masalah penerbitan buku, tidaklah sesederhana itu.
Royalti maksimum yang dapat dialokasikan penerbit adalah 10% dan di dunia juga umum berlaku seperti itu–biasanya mulai 5%-10% dan kadang ada yang memberlakukan royalti progresif hingga 12%. Tidak ada royalti buku cetak sampai pada angka 15% atau 20%, kecuali ada komponen biaya yang harus dikorbankan atau penulis menerbitkan bukunya sendiri (self-publishing).
Peta Permasalahan Penulis
Saya coba menyajikan peta permasalahan penulis berikut ini sebagai sumbang saran terhadap pembentukan asosiasi profesi penulis yang diinisiasi Bekraf.
Secara ringkas dapat saya sampaikan penjelasan berikut.
- Masalah terkait Kode Etik telah menjadi syarat terbentuknya sebuah asosiasi profesi. Kode etik penulis digambarkan dalam ranah penerbitan atau publikasi sebagai legalitas dan kesopanan. Legalitas menyangkut soal penghormatan terhadap hak cipta orang lain dan kesopanan menyangkut masalah-masalah kepatutan yang berhubungan dengan norma hukum dan norma masyarakat.
- Masalah terkait Pendidikan bahwa ilmu kepenulisan dan kompetensi kepenulisan belum menjadi nomenklatur pendidikan vokasional di Indonesia. Hal ini berbeda dengan jurnalistik dan kehumasan yang di dalamnya kepenulisan masuk sebagai unit kompetensi yang harus dikuasai. Di negara-negara maju, penulisan yang biasanya disatukan dengan penyuntingan (editing) telah menjadi nomenklatur pendidikan vokasional, baik nondegree maupun setingkat diploma. Di Indonesia tidak ada sekolah penulis ataupun jika ada lembaga pendidikan penulis profesional, jumlahnya dapat dihitung dengan jari seperti Tempo Institute.
- Masalah terkait Sertifikasi bahwa tuntutan profesional adalah adanya sertifikasi penulis profesional. Sertifikasi akan melahirkan pemeringkatan penulis berdasarkan kompetensinya, seperti penulis muda, penulis madya, dan penulis mahir, terutama untuk penulis-penulis dari ranah nonfiksi dan faksi.
- Masalah terkait Spesialisasi bahwa asosiasi harus mengadakan pembinaan untuk para penulis di tiga ranah induk, yaitu fiksi, nonfiksi, dan faksi. Penulis yang paling banyak spesialisasinya adalah pada ranah nonfiksi yang menurunkan spesialisasi atau laras penulisan akademis, penulisan bisnis, penulisan kehumasan, dan penulisan jurnalistik. Di ranah faksi ada penulisan biografi, autobiografi, dan memoar. Dalam sejarahnya, asosiasi penulis di Indonesia lebih banyak menaungi penulis dari kalangan sastrawan yang kadang kepentingannya akan berbeda. Kasus ini sama seperti yang terjadi pada Ikapi yang menaungi semua jenis penerbit. Namun, Ikapi pada masa-masa tertentu sempat lebih memperhatikan penerbit buku pelajaran daripada penerbit buku lainnya. Dalam perjalanan, kemudian terbentuk Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI) yang lebih spesifik menaungi penerbit perguruan tinggi. Jadi, dalam pandangan saya tidak mudah menyatukan seluruh kepentingan penulis dalam satu wadah yang diinginkan Bekraf. Di negara-negara maju, asosiasi penulis yang memang terspesialisasi sehingga tidak ada satu asosiasi penulis yang menaungi seluruh jenis penulis dari berbagai ranah dan laras.
- Masalah terkait Standardisasi dalam hal ini terkait disusunnya standar di bidang konten sehingga para penulis memiliki acuan dalam berkarya dan mengembangkan karyanya. Standardisasi diperlukan terutama pada penulisan ranah nonfiksi. Standardisasi sebagai turunan sertifikasi juga berimbas pada standar tarif, honor, atau royalti para penulis di Indonesia.
- Masalah terkait Hak Cipta memang selalu menjadi masalah yang “hot” bagi banyak penulis di Indonesia. Kalau boleh saya analogikan, kita yang sudah menikah mungkin 99% tidak pernah membaca UU Perkawinan. Begitu pula para penulis yang kadang mengeluhkan soal imbalan terhadap eksploitasi hak ciptanya, mungkin 99% tidak pernah membaca UU Hak Cipta No. 28/2014 sebagai revisi dari UU Hak Cipta No. 19/2002. Penerbit pun setali tiga uang. Soal ini gamblang terlihat pada halaman prelims buku ketika penerbit mencantumkan kutipan UU Hak Cipta tentang pembajakan, sampai sekarang masih ada yang menggunakan UU lama. Jadi, di sini sosialisasi konten UU Hak Cipta terkait penulisan perlu disampaikan asosiasi, termasuk tentang hak cipta turunan (derivatif) ‘subsidiary right’ yang sering kali tidak dipahami.
Hal yang harus disadari kini bahwa penulis tidak hanya hidup dari industri perbukuan, tetapi dapat hidup di semua industri dan bidang sehingga dikenal penulis spesalis berikut ini:
- penulis medis di bidang kedokteran dan kesehatan;
- penulis arsitektur;
- penulis fashion;
- penulis kuliner;
- penulis pariwisata;
- penulis teknik;
- penulis musik; dan
- bermacam penulis spesialis lainnya.
Para penulis ada yang bekerja untuk perusahaan media, perusahaan telekomunikasi, perusahaan makanan, lembaga pendidikan, lembaga pemerintah, LSM, dan ada di semua bidang. Jadi, urusan soal royalti buku itu masih urusan sempit dunia penulisan dalam konteks industri buku. Urusan lainnya masih banyak.
Contoh kasus bahwa di dalam standar biaya umum (SBU) pemerintah hanya ada satu nomenklatur penulisan yaitu penulisan konten web/situs yang dihargai Rp100.000,00 per halaman. Untuk konten lainnya, termasuk penulisan buku, pemerintah tidak memiliki acuan yang jelas karena juga tidak ada nomenklaturnya. Padahal, pekerjaan bidang ini ada sepanjang tahun.
Menyambut UU Sistem Perbukuan
Saya salah seorang yang diminta Panja RUU Sistem Perbukuan (Sisbuk), Komisi X DPR-RI untuk menjadi tim pendamping ahli pembahasan RUU Sisbuk. Tugas ini menjadi kesempatan bagi saya untuk menyelami banyak permasalahan dalam dunia perbukuan, termasuk tentang penulis dan penulisan. DPR dan Pemerintah tampaknya bersepakat untuk dibentuknya lembaga perbukuan yang akan menjadi regulator di bidang perbukuan.
Cek pemberitaannya di Antara News.
Profesi penulis tentu tidak luput dari perhatian lembaga ini kelak, termasuk amanat di dalam RUU yang mendorong dibentuknya asosiasi profesi penulis. Di dalam konten RUU juga terdapat pasal tentang penulis menyangkut hak dan kewajibannya.
RUU Sisbuk ditargetkan DPR dapat dituntaskan pada akhir 2016 dan segera diberlakukan. Artinya, pembentukan asosiasi profesi penulis juga akan menemukan momentumnya ketika profesi ini di dalam konteks industri perbukuan juga akan dilindungi UU. Apa yang dikhawatirkan oleh Pak Langit setidaknya juga sudah diakomodasi oleh UU. Namun, jelas penulis akan lebih kukuh lagi jika memiliki asosiasi profesi dengan segala perangkatnya.
***
Penulis semakin hari semakin banyak yang lahir dan muncul. Namun, dari sekian banyak yang lahir dan muncul, boleh dikatakan sebagian besar tidak dapat disebut sebagai literator atau penulis profesional. Pembinaan dan pendampingan dalam satu wadah diperlukan untuk mencetak para literator tadi.
Kuantitas dan kualitas penulis dapat menjadi indikator tingginya daya literasi pada bangsa Indonesia dan penguatan akar budaya. Masih banyak kekayaan bangsa Indonesia yang belum dituliskan oleh orang Indonesia sendiri. Jadi, mengkhawatirkan jika makin banyak orang asing belajar bahasa Indonesia dan menulis dengan baik dalam bahasa Indonesia, merekalah yang akan menjadi literator dari kekayaan bangsa kita. Kita menjadi merasa asing di negeri sendiri.[]