Apakah Saya Mencintai Bahasa Indonesia

Berkutat sebagai editor sehingga tiada satu pun masa dilewatkan tanpa bergumul dengan bahasa selama delapan belas tahun, tetap menyisakan pertanyaan bagi saya: Apakah saya mencintai bahasa Indonesia?

Ya, pertanyaan ini mengusik manakala saya khusyuk menyelesaikan buku “101 Solusi Editing Naskah” serta membongkar begitu banyak referensi kebahasaan. Satu subbab yang membuat saya berlama-lama menyelisiknya adalah subbab tentang kata serapan.

Begitu banyak referensi tentang penggunaan kata serapan serta juga penggunaan yang cenderung kebablasan. Bahasa asing benar-benar memengaruhi bahasa kita sehari-hari sehingga mendorong kita menggunakannya tanpa mau berpikir padanan apa yang tepat menggambarkannya dalam bahasa kita.

“Kamu di-mention tuh sama si Ardi.”

“Oh ya, apa katanya?”

“Dia minta di-folback.”

“Oke deh, ntar ku-folback.”

ASAP, ya!”

Kalimat seperti ini sudah sering kita dengar sebagai percampuran yang menggelisahkan antara bahasa Indonesia dan istilah bahasa Inggris. Ada yang menyebut sebagai “bahasa gado-gado”, tetapi jelas tidak membuat lapar yang mendengarnya.

Saya pun pernah dikritik karena terlalu sering menggunakan istilah asing dalam konteks istilah penerbitan buku dibandingkan menggunakan istilah yang sudah ada padanannya atau diserap ke dalam bahasa Indonesia. Namun, kadang-kadang memang memusingkan, apakah saya menggunakan kata copy editor (dengan huruf miring tentunya) atau menggunakan kata kopi editor, editor naskah, dan editor nas.

Itu contoh bentuk bersaing yang mau tidak mau memaksa saya mesti konsisten memilih salah satunya. Sama halnya dengan kata fashion yang sering dipadankan dengan busana, padahal tidak terlalu tepat jika yang dimaksud fashion bukan hanya busana (baju, pakaian). Alhasil, muncul bentuk bersaing lain yang menggunakan pola padanan sesuai dengan lafal bahasa Melayu yaitu fesyen!

Saya akhirnya kembali membuka-buka referensi dan menikmati banyak tulisan dari Prof. Dr. Sudjoko, Salomo Simanungkalit, Pamusuk Eneste, Remy Silado, Alfons Taryadi, Samsudin Berlian yang semuanya terkait bahasa (pernah dimuat di dalam rubrik Bahasa, Kompas). Terkenang juga dulu tokoh seperti Prof. Jus Badudu yang selalu lantang menganjurkan orang Indonesia untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar.

Ya, saya berusaha untuk menghindarkan berbahasa gado-gado dengan mencampur aduk bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dalam satu kalimat apabila padanannya sudah ada. Intuisi berbahasa ini memang harus diasah lagi, termasuk menggali kembali kata-kata arkais yang dapat digunakan untuk mengganti kata dalam bahasa Inggris tadi (umumnya yang kini diserap adalah bahasa Inggris).

Berikut contoh istilah asing dalam bidang penerbitan yang sudah diindonesiakan.

Istilah

Pengindonesiaan

advance copy kopi contoh; buku contoh
author pengarang
authorship kepengarangan
bibliography daftar pustaka
bilingual dwibahasa
bind jilid
binding penjilidan
blurb ringkasan; wara
bold huruf tebal
cover kover; sampul
co-writer penulis pendamping
deadline tenggat
dummy contoh; tiruan
edit sunting
editor penyunting
font fonta; huruf
foreword kata pengantar
fullcolor berwarna
ghost writer penulis bayangan
index indeks; penjurus
italic huruf miring; kursif
layout atak
layouter juru atak
manuscript naskah
paperback buku saku
polychromatic berwarna
preface prakata
press run naik cetak
printer pencetak
printer’s error salah cetak
printing pencetakan (proses)
proof pruf; cetak coba
pseudonym nama pena; nama samaran
publisher penerbit
publishing penerbitan (proses)
reprint cetak ulang
reviewer penelaah; mitra bestari
spine punggung buku
subtitle subjudul; anak judul
titel judul
typographical error salah tik
writer penulis
writerpreneur wirausaha penulisan

Istilah-istilah tersebut boleh jadi asing, janggal, atau kurang enak terdengar. Namun, masalah bahasa memang bukan masalah enak atau tidak enak walaupun Badan Bahasa juga mempertimbangkan faktor keberterimaan sebuah istilah. Sebagai contoh, Pusat Bahasa (sekarang Badan Bahasa) pernah memopulerkan kata “mangkus” dan “sangkil” sebagai pengganti kata “efektif” dan “efisien”, tetapi tidak berterima sehingga bentuk serapan mengikuti lafal bahasa Indonesialah yang digunakan.

Jadi, sebagai penghargaan terhadap bahasa Indonesia dan menjaga identitas karena bahasa menunjukkan bangsa maka patutlah kita berusaha menggunakan padanan kata bahasa Indonesia atau menggali khazanah kata Indonesia yang berjuta untuk mengganti penggunaan bahasa Inggris yang sudah terserap utuh. Terkadang elok juga menggunakan bahasa dari menyelisik kosakata asli yang kita milik. Hanya kita saja yang tidak tahu dan merasa asing dengan bahasa sendiri gara-gara (alasan) globalisasi. [BT]

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *