6 Intuisi Sang Editor Intuitif

 

Bambangtrim.com | Benarkah editor juga bekerja dengan intuisi? Intuisi dalam KBBI diartikan daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari; bisikan hati; gerak hati. Jadi, memang ada editor yang bekerja mengandalkan daya seperti ini atau dalam istilah Malcolm Gladwell disebut blink.

Desakan tenggat yang ketat memang terkadang memaksa editor harus meningkatkan kecepatan pengeditannya—termasuk kecepatan mengambil keputusan. Kecepatan dan ketepatan tentulah tumbuh dari kebiasaan dan perlatihan yang terus-menerus. Contoh paling gamblang, ada editor dalam sekali baca dapat langsung menemukan kata-kata yang tidak baku atau kalimat yang rancu. Hal itu tentu memperlihatkan tingkat keterampilan yang sudah di atas rata-rata.

Sepengalaman saya sebagai editor sejak tahun 1995 memang menegaskan bahwa daya intuisi akhirnya timbul, bahkan cenderung diperlukan untuk memudahkan tugas editor alih-alih mempercepat pekerjaannya. Daya itu berangsur-angsur memang menguat seiring dengan berbagai tugas yang dibebankan kepada editor dan ia belajar dari multitugas tersebut. Karena itu, seorang editor sudah dapat disebut sebagai editor madya atau mendapatkan sebutan penuh sebagai editor senior apabila ia telah memiliki “jam terbang” lebih dari lima tahun dalam penyuntingan naskah atau copy editing.

Ketika editor dituntut untuk mengerjakan multitugas, sebenarnya ia tengah melatihkan dan menajamkan beberapa intuisi. Berikut enam intuisi yang digunakan dalam tugas editorial.

1. Intuisi terhadap Tren

Intuisi terhadap tren terkait dengan daya editor melihat kecenderungan yang terjadi pada masyarakat sehingga ia pun dapat membaca kebutuhan atau keinginan masyarakat terkait buku. Dalam konteks ini editor memang harus banyak bergaul dengan komunitas-komunitas yang menjadi segmen pembaca buku-bukunya. Editor juga dapat mengamati tren melalui media sosial yang kini makin banyak tumbuh. Daya ini terutama harus dimiliki para editor akuisisi atau editor pemerolehan naskah. Dengan daya ini, mereka dapat menyusun sebuah perencanaan naskah antara satu sampai dengan tiga tahun ke depan yang disebut naskah front list.

2. Intuisi terhadap Naskah

Sebuah naskah di tangan editor terkadang hanya memerlukan waktu beberapa menit untuk dapat diputuskan layak atau tidak untuk diterbitkan. Editor memang tidak perlu membuang waktu lebih banyak demi membaca keseluruhan naskah, kecuali tentunya karya fiksi yang harus dituntaskan.

Lewat daya intuisi sejatinya ia mampu menjejaki keunggulan naskah melalui daftar isi, prakata penulis, pendahuluan, dan bab awal naskah. Daya ini terutama harus dimiliki para kepala editor yang memiliki kewenangan memutuskan sebuah naskah layak atau tidak layak.

Sambil berseloroh terkadang saya menyebut para editor seperti ini bahkan hanya perlu mengendus bau sebuah naskah, lalu menyatakan naskah tersebut layak atau tidak diterbitkan.

3. Intuisi terhadap Penulis

Intuisi jenis ini juga paling diperlukan para editor akuisisi, terutama ketika membaca talenta seorang penulis. Dalam penerbitan buku, kriteria penulis senior tidak selalu ditekankan sebagai jaminan keberhasilan sebuah penerbit. Karena itu, seorang penulis pemula pun harus “dibaca” kemampuannya untuk memberikan kejutan baru di dunia buku.

Saya beberapa kali menemukan “bibit” yang baik untuk penulisan dengan memberi kesempatan para penulis pemula itu berkiprah. Jadi, memang diperlukan intuisi, terutama juga terkait apakah penulis tersebut memang dapat diajak bekerja sama dan yang terpenting pula apakah penulis itu bukan tipe yang mudah “besar kepala”, “narsisme”, atau tipe “tidak sabar”.

4. Intuisi terhadap Bahasa

Intuisi yang satu ini intuisi standar yang harus dimiliki para editor sejati. Artinya, PUEBI  serta tata bahasa Indonesia baku itu sejatinya sudah menjadi bagian dari diri seorang editor sehingga setiap kalimat yang tertangkap matanya langsung dapat diputuskan.

Editor harus sudah mampu menangkap kesalahan-kesalahaan elementer pada sebuah naskah. Perhatikan naskah berikut yang saya kopi pasta (copy paste) apa adanya. Dapatkah Anda temukan kesalahan elementernya?

Hercules Rozario Marshall akhirnya selesai menjalano pemeriksaan kasus pemerasan dan pencucian uang di Polres Jakarta Barat. Hercules diperiksa sekitar 8 jam lamanya dan akan dikembalikan ke Polda Metro Jaya. (Sumber: detik.com)

5. Intuisi terhadap Data dan Fakta

Data dan fakta terkadang menjadi begitu vital untuk memastikan sebuah konten mengandung kebenaran yang kukuh atau keraguan. Editor dengan jam terbang tinggi biasanya mampu menangkap keganjilan terhadap data dan fakta yang tersaji di dalam naskah. Data dan fakta itu, contohnya tentang angka-angka, nama orang, nama tempat, tanggal peristiwa, rumus/postulat, sejarah, kutipan, dan teori.

Editor dengan intuisi seperti ini akan selalu membangun kecurigaan yang tinggi terhadap data-data yang tersaji. Ia tidak akan mudah percaya tanpa meneliti terlebih dulu.

6. Intuisi terhadap Legalitas dan Kepatutan

Tidak kalah penting dari intuisi terhadap data dan fakta juga adalah intuisi terhadap legalitas dan kepatutan. Editor dengan daya seperti ini akan mampu menemukan jika sebuah bagian naskah terindikasi plagiat atau berbahaya jika dipublikasikan karena mengandung unsur penistaan SARA, pornografi, ataupun pencemaran nama baik. Intuisi seperti ini dapat menyelamatkan sebuah buku, bahkan penerbitnya sendiri dari tuntutan hukum atau juga protes dari publik pembaca yang jelas akan membahayakan eksistensi penerbit.

Para penulis yang coba mengakali penerbit dengan menyalin-tempel naskah-naskah dari internet, tidak akan mudah mengelabui mata para editor dengan intuisi semacam ini.

Bagaimana Intuisi itu Ditumbuhkan

Intuisi para editor tumbuh disebabkan karena ia banyak membaca, sekaligus banyak pula menuliskan apa yang dibacanya, baik itu buku maupun peristiwa. Daya intuisi ini membentuk sebuah wadah pengetahuan sekaligus pengalaman di benaknya yang sewaktu-waktu dapat diakses oleh editor. Saya menyebutkan sebagai inteligensi interkoneksi.

Intuisi juga dapat ditumbuhkan karena keseringan melakukan pengeditan di mana pun dan kapan pun, tidak harus berhadapan dengan naskah. Karena itu, pada waktu dulu hingga kini, saya selalu membekali diri dengan bolpoin berwarna cerah. Jika saya bersua dengan dokumen apa pun, langsung intuisi saya bekerja mencari bagian-bagian kalimat yang salah. Saya pun membubuhkan tanda koreksi di dokumen tersebut walau hanya sebuah brosur.

Satu hal lagi yang paling penting bahwa intuisi tumbuh disebabkan renjana (passion) yaitu berupa keinginan kuat untuk mendalami penyuntingan itu sendiri disebabkan rasa cinta mendalam terhadap pekerjaan menyunting. Ya, mustahil ada intuisi tanpa ada renjana.| Ba(ha)sa Basi Bambang Trim

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *